Home » Persahabatan » Kecerdasan Sosial
Klik x untuk menutup hasil pencarian. Cari di situs Remaja Kristen
Kecerdasan Sosial
"Ndut, kamu ini mau coba-coba ikut main sepak bola? Nggak salah nih, si Gendut mau main sepak bola?" Begitulah pelajar SMP yang gemuk itu diejek oleh kedua temannya yang bertubuh atletis menjelang pelajaran olahraga. Si Gendut terdiam lalu menjawab, "Aku memang tidak bisa main sepak bola. Tetapi, aku ingin mencoba. Tidak usah aku sepandai kamu, pokoknya asal bisa menendang bola. Sebentar, kamu tolong beri contoh bagaimana mengendalikan bola dan menendangnya. Aku ingin belajar sedikit saja dari kamu."
Kedua teman itu terperangah, lalu dengan terbata-bata menjawab, "Tentu! Kami akan menolong kamu. Sebentar kami akan beri contoh." Demikian ringkasan cerita yang dipakai oleh Daniel Goleman dalam buku Kecerdasan Sosial. Simak percakapan itu. Ucapan kedua teman itu jelas bernada sarkastik. Di kalangan pelajar, ejekan seperti itu biasanya memicu saling ejek yang mengarah ke pertengkaran.
Namun ternyata, di sini tidak terjadi saling ejek dan pertengkaran. Kedua teman itu sebenarnya sudah siap untuk melemparkan ejekan-ejekan berikutnya. Akan tetapi, mereka langsung tersipu-sipu malu dan berubah menjadi ramah. Apa sebabnya? Penyebabnya adalah karena si Gendut tidak menyiram minyak ke atas percikan api yang dibuat oleh kedua temannya, melainkan menyiram air. Maka, sejuklah suasana itu.
Cerita sederhana ini menjelaskan sesuatu yang sangat pelik dalam penelitian mutakhir tentang kaitan timbal-balik antara pertumbuhan sirkuit otak dengan perilaku. Cerita itu memperlihatkan bahwa si Gendut mempunyai tingkat kecerdasan sosial yang tinggi. Apa yang dimaksud dengan cerdas sosial? Apa orang yang cerdas intelek dengan IQ tinggi otomatis juga cerdas sosial? Apa cerdas sosial dapat dipelajari? Apa cerdas sosial sama dengan cerdas emosional? Supaya jelas, cerdas sosial bukan berarti berani bergaul karena orang pemalu pun bisa cerdas sosial. Cerdas sosial juga bukan periang dan lincah karena orang pendiam juga bisa tinggi tingkat kecerdasan sosialnya. Yang cerdas sosial bukanlah orang yang suka mengobrol, menarik perhatian, atau jadi bintang yang dikerumuni banyak orang.
Cerdas sosial adalah kemampuan untuk mengerti orang lain dan mampu memilih reaksi non-verbal ataupun verbal yang tepat dalam suatu situasi. Si Gendut dalam cerita tadi mempunyai kemampuan saraf yang sangat tinggi. Dia tahu bahwa kedua temannya itu sedang bersikap kurang ramah dan kurang bersahabat. Sebetulnya, dia bisa membalas dengan sikap serupa yang akan membuat suasana menjadi sengit.
Ternyata si Gendut mempunyai keterampilan saraf yang tajam sehingga dia mampu memilih reaksi yang justru menaklukkan kedua temannya, dan dalam hitungan detik mengubah kedua temannya yang semula bersikap menolak menjadi bersikap merangkul.
Dalam bukunya itu, Goleman menjelaskan kecerdasan sosial sebagai dua kategori besar. Kategori pertama, kesadaran sosial, yaitu apakah kita dapat membaca perasaan dan pikiran orang lain. Kategori kedua, fasilitas sosial, yaitu apakah kita mampu berinteraksi setelah membaca perasaan dan pikiran orang itu.
Kesadaran sosial itu sendiri terbagi atas empat unsur. Pertama, empati dasar, yaitu apakah kita berusaha mendeteksi perasaan orang lain yang tersembunyi, tetapi terungkap dalam nada suara dan ekspresi sekilas. Kedua, penyelarasan diri, yaitu apakah kita berusaha mendengarkan dan memahami maksud atau kebutuhan orang itu. Ketiga, ketepatan empatik, yaitu apakah kita berusaha menangkap pikiran dan perasaan yang justru tidak diucapkan oleh orang itu. Keempat, kognisi sosial, yaitu bagaimana kita bersikap pada saat kita berusaha memahami pikiran dan perasaan orang itu.
Selanjutnya, fasilitas sosial juga terdiri atas empat unsur. Pertama, sinkroni, yaitu apakah kita berusaha membaca sinyal-sinyal nonverbal dan meresponsnya. Misalnya, sinyal bahwa orang itu mau mengakhiri percakapan. Kedua, pengendalian diri, yaitu apakah kita berusaha tetap tinggal tenang dan penuh kendali diri dalam interaksi yang panas dengan dia. Ketiga, respons yang berpengaruh, yaitu apakah kita berusaha memilih sebuah respons yang bijak dan cocok bagi situasi itu. Keempat, simpati, yaitu apakah kita berusaha merasakan kebutuhan atau persoalan orang itu dan berusaha menolongnya. Perhatikan bahwa dalam kedua paragraf di atas ada sejumlah kalimat yang berawal dengan "apakah kita berusaha". Orang yang cerdas sosial adalah orang yang berusaha memilih reaksi yang berdampak menciptakan hubungan yang serasi, utuh, dan damai dengan orang lain. Hubungan seperti itu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi harus kita usahakan. Menurut surat Ibrani, "Berusahalah hidup damai dengan semua orang ...." (lbrani 12:14) Teks aslinya berbunyi, Eirenen diokete meta panton ....", yang secara harfiah berarti: "Burulah atau kejarlah damai dengan tiap orang ...."
Apakah cerdas sosial diperoleh karena bawaan sejak lahir? Bukan! Bagian-bagian otak yang membuat kita bisa cerdas sosial terbentuk dalam proses panjang sejak masa kecil, dan biasanya mulai berfungsi pada usia remaja. Bagian-bagian otak yang membuat tingkat kecerdasan sosial kita menjadi tajam terbentuk karena pendidikan, pergaulan, dan bacaan. Pembentukan bagian-bagian otak ini berlangsung seumur hidup. Kebersamaan dengan orang yang tajam cerdas sosialnya membuat kita jadi cerdas sosial. Sebaliknya, kebersamaan dengan orang yang tumpul kecerdasan sosialnya membuat kita juga tumpul.
Kecerdasan emosi mengukur dan memicu ketajaman perasaan. Kecerdasan spiritual mengukur dan memicu ketajaman cita rasa rohani. Lihat Bab "Kecerdasan Emosional" dan "Kecerdasan Spiritual" dalam buku Selamat Berkembang. Sejajar dengan kedua macam kecerdasan itu, kecerdasan sosial mengukur dan memicu ketajaman hubungan antarpribadi. Ketiga jenis kecerdasan ini kita peroleh sebagai masukan dari kebersamaan dan bacaan. Ketiga jenis kecerdasan ini tidak identik dengan kecerdasan intelek. Oleh sebab itu, seorang ilmuwan jenius bisa saja tumpul dalam kecerdasan sosial, emosional, dan spiritualnya.
Orang yang cerdas sosial bukanlah orang yang menyapa sana sini atau bergaul ke kanan ke kin. Mungkin saja dia pendiam dan pemalu. Akan tetapi, dia cakap mengelola hubungan yang baik dengan semua orang secara bijak dan berhati-hati (sekali lagi: berhati-hati, bukan sembarangan bicara atau sembarangan bersikap). Dia diterima dan disukai oleh berbagai kalangan. Dia damai dalam rumah tangganya. Dia berhasil dalam kariernya. Dia bahagia dalam hidupnya.
Diambil dan disunting seperlunya dari: | ||
Judul buku | : | Selamat Berkerabat -- 33 Renungan tentang Kebersamaan |
Judul asli artikel | : | Kecerdasan Sosial |
Penulis | : | Andar Ismail |
Penerbit | : | BPK Gunung Mulia, Jakarta 2010 |
Halaman | : | 16 - 19 |
- Login to post comments