Klik x untuk menutup hasil pencarian. Cari di situs Remaja Kristen
Proses Pacaran yang Benar
Bagi kebanyakan remaja saat ini, pacaran telah dijadikan sebagai tujuan hidup atau semacam cita-cita. Memiliki pacar ataupun menjadi pacar seseorang dianggap sebagai sebuah status yang membanggakan, sehingga tidak sedikit remaja yang merasa malu apabila belum memiliki pacar. Padahal, yang dimaksud dengan berpacaran tidaklah sesederhana itu. Pacaran merupakan sebuah tahap di mana kita dan pasangan belajar untuk lebih saling mengenal, sebelum nantinya masuk ke tahap yang lebih jauh, yaitu pernikahan. Pacaran itu sendiri merupakan sebuah proses. Kurangnya pemahaman akan hal inilah yang menyebabkan pacaran kita kerap putus di tengah jalan. Seperti apa sih proses yang dimaksud?
Berikut adalah penjelasan dari Pdt. Yakub Susabda tentang proses pacaran yang benar, yang kami kutip dari buku beliau yang berjudul "Pastoral Konseling".
-
Pacaran Merupakan Proses Peralihan dari "Subjective Love" ke "Objective Love"
-
Pacaran Merupakan Proses Peralihan dari "Envious Love" ke "Jealous Love"
-
Pacaran Merupakan Proses Peralihan dari "Romantic Love" ke "Real Love"
-
Apakah kata-kata dan janji-janjinya dapat dipercaya?
-
Apakah ia memang orang yang begitu sabar, "caring", penuh tanggung jawab seperti yang selama ini ditampilkan?
-
Apakah realitas hidup akan seperti ini terus (penuh cumbu rayu, rekreasi, jalan-jalan, cari hiburan)?
-
Pacaran Merupakan Proses Peralihan dari "Activity Center" ke "Dialog Center"
-
Pacaran Merupakan Proses Peralihan dari "Sexual Oriented" ke "Personal Oriented"
"Subjective love" sebenarnya tidak berbeda dari manipulative love, yaitu "kasih dan pemberian yang diberikan untuk memanipulasi orang yang menerimanya". Pemberian yang dipaksakan sesuai dengan kemauan dan tugas dari si pemberi, dan tidak memperhitungkan akan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh si penerima. Sesuai dengan "sinful nature"nya, setiap anak kecil telah belajar mengembangkan "subjective love". Dan, "subjective love" ini tidak dapat menjadi dasar pernikahan. Pacaran merupakan saat yang tepat untuk mematikan "sinful nature" tersebut dan mengubah kecenderungan "subjective love" menjadi "objective love", yaitu memberi sesuai dengan apa yang baik yang betul-betul dibutuhkan si penerima.
"Envious" sering diterjemahkan sama dengan "jealous", yaitu cemburu. Padahal "envious" memunyai pengertian yang berbeda. "Envious" adalah rasa cemburu yang negatif, yang ingin mengambil dan merebut apa yang tidak menjadi haknya. Sedangkan "jealous" adalah rasa cemburu yang positif, yang menuntut apa yang memang menjadi hak dan miliknya. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan kalau Alkitab sering menyaksikan Allah sebagai Allah yang "jealous", yang cemburu. Israel adalah milik-Nya, umat tebusan-Nya. Kalau Israel menyembah berhala atau lebih memercayai bangsa-bangsa kafir sebagai pelindungnya, Allah cemburu dan akan merebut Israel kembali kepada-Nya. Begitu pula dengan pergaulan pemuda-pemudi. Pacaran pemuda-pemudi Kristen harus ditandai dengan "jealous love". Mereka tidak boleh menuntut "sesuatu" yang bukan atau belum menjadi haknya (seperti: hubungan seksual, wewenang mengatur kehidupannya, dan sebagainya). Tetapi, mereka harus menuntut apa yang memang menjadi haknya, seperti kesempatan untuk dialog, pelayanan ibadah pada Allah dalam Tuhan Yesus, dan sebagainya.
"Romantic love" adalah kasih yang tidak realistis, kasih dalam alam mimpi yang didasarkan pada pengertian yang keliru bahwa "kehidupan ini manis semata-mata". Pemuda-pemudi yang berpacaran biasanya terjerat ke dalam "romantic love". Mereka semata-mata menikmati hidup sepuas-puasnya tanpa mencoba mempertanyakan realitasnya, misalnya mengajukan pertanyaan berikut ini:
Pacaran merupakan persiapan pernikahan. Oleh karena itu, pacaran Kristen tidak mengenal "dimabuk cinta". Pacaran Kristen boleh dinikmati, tetapi harus berpegang pada hal-hal yang realistis.
Pacaran orang-orang non-Kristen hampir selalu "activity center". Isi dan pusat dari pacaran tidak lain daripada aktivitas (nonton, jalan-jalan, duduk berdampingan, cari tempat rekreasi, dan sebagainya), sehingga pacaran 10 tahun pun tetap merupakan dua pribadi yang tidak saling mengenal. Sedangkan pacaran orang-orang Kristen berbeda. Sekali lagi, orang-orang Kristen juga boleh berekreasi dan sebagainya, tetapi "center"nya (isi dan pusatnya) bukan pada rekreasi itu sendiri, tetapi pada dialog, yaitu interaksi antara dua pribadi secara utuh sehingga hasilnya suatu pengenalan yang benar dan mendalam.
Pacaran orang Kristen bukanlah saat untuk melatih dan melampiaskan kebutuhan seksual. Orientasi dari kedua insan tersebut bukanlah pada hal-hal seksual, melainkan, sekali lagi, pada pengenalan pribadi yang mendalam.
Jadi, masa pacaran tidak lain dari masa persiapan pernikahan. Oleh karena itu, pengenalan pribadi yang mendalam merupakan keharusan. Melalui dialog, kita akan mengenal beberapa hal yang sangat primer sebagai dasar pertimbangan apakah pacaran akan diteruskan atau putus sampai di sini. Beberapa hal yang primer tersebut, antara lain:
-
Imannya
-
Kematangan Pribadinya
-
Temperamennya
-
Tanggung Jawabnya
Apakah sebagai orang Kristen ia betul-betul sudah dilahirkan kembali (Yohanes 3:3), memunyai rasa takut akan Tuhan (Amsal 1:7) lebih daripada ketakutannya pada manusia, sehingga di tempat-tempat yang tersembunyi dari mata manusia sekalipun ia tetap takut berbuat dosa. Apakah ia memunyai kehausan akan kebenaran Allah dan menjunjung tinggi hal-hal rohani?
Apakah ia dapat menyelesaikan konflik-konflik dalam hidupnya dengan cara yang baik? Dapat bergaul dan menghormati orang-orang tua? Apakah ia menghargai pendapat orang lain?
Apakah ia dapat menerima dan memberi kasih secara sehat? Dapat menempatkan diri dalam lingkungan yang baru, bahkan sanggup membina komunikasi dengan mereka? Apakah emosinya cukup stabil?
Apakah ia secara konsisten dapat menunjukkan tanggung jawabnya, baik dalam studi, pekerjaan, uang, seks, dan sebagainya?
Kegagalan dialog akan menutup kemungkinan mengenali hal-hal yang primer di atas. Dan, pacaran 10 tahun sekalipun tidak akan mempersiapkan mereka memasuki pernikahan. Kegagalan dalam dialog biasanya ditandai dengan pemikiran-pemikiran berikut ini:
-
Saya takut bertengkar dengan dia, takut menanyakan hal-hal yang tidak ia sukai.
-
Setiap kali bertemu, kami selalu mencari acara keluar atau kami ingin selalu bercumbuan saja.
-
Saya rasa "dia akan meninggalkan saya" kalau saya menuntut kebenaran yang saya yakini. Saya takut ditinggalkan.
-
Saya tidak keberatan atas kebiasaannya, wataknya, bahkan jalan pikirannya asalkan dia tetap mencintai saya, dan sebagainya. (RM)
Diambil dan disunting dari:
Judul buletin | : | Shining Star |
Edisi buletin | : | Tahun ke-VII, No.78, 2006 |
Penulis | : | Pdt. Yakub Susabda |
Penerbit | : | Komisi Remaja GKI Gunung Sahari, Jakarta 2006 |
Halaman | : | 12 -- 14 |
- Login to post comments