Klik x untuk menutup hasil pencarian. Cari di situs Remaja Kristen

Pecinta yang Menjadi Martir

Submitted by admin on Thu, 07/06/2023 - 13:16

Kisah di Balik Hari Santo Valentine

Dari sekian banyak perayaan yang dirayakan dalam budaya populer Eropa abad pertengahan -- di mana terletak beberapa akar kunci dari kebudayaan Barat modern -- hanya dua yang tersisa dalam budaya populer Amerika Utara saat ini: Hari Santo Patrick (hari untuk memperingati St. Patrick, orang yang memperkenalkan agama Kristen ke Irlandia - Red.) (17 Maret) dan Hari Santo Valentine (lebih dikenal dengan hari kasih sayang - Red.) (14 Februari). Dengan hari Santo Patrick, kita memiliki dua teks penting dari Patrick sendiri yang mengungkapkan identitas pria di balik perayaan itu. Namun, siapakah Santo Valentine itu?

Gambar: bersyukur

Nama itu populer di dunia Romawi, karena kata sifat valens mengungkapkan gagasan menjadi kuat dan tangguh. Sebenarnya, kita mengetahui sekitar selusin tokoh Kristen mula-mula yang memakai nama ini. Santo Valentine di sini adalah seorang uskup Italia yang menjadi martir pada 14 Februari 269, setelah diadili di hadapan kaisar Romawi Claudius Gothicus (memerintah pada 268 -- 270). Menurut sedikit akun yang kami miliki, tubuh Valentine buru-buru dikuburkan, tetapi beberapa malam kemudian beberapa rekannya mengambilnya dan mengembalikannya ke kota asalnya, Terni di Italia tengah. Catatan lain mencantumkan dia sebagai penatua di Roma. Dalam surat terakhirnya, yang ditulis sebelum kematiannya, ia menandatanganinya dengan, "Valentinemu."

Meskipun begitu, dari semuanya dapat kita simpulkan, tampak jelas bahwa Santo Valentine adalah seorang martir -- ya, seorang pecinta, tetapi orang yang mengasihi Tuhan Yesus sampai memberikan hidupnya demi komitmennya kepada Kristus. Maka, agar orang Kristen mengingat Santo Valentine secara sepantasnya, sebaiknya kita juga ingat apa artinya menjadi seorang martir pada zaman gereja mula-mula.

Para Saksi dan Martir

Kata martir berasal dari bahasa Yunani "martys", awalnya merupakan istilah yuridis yang digunakan untuk saksi di pengadilan. Orang seperti itu adalah orang yang "memiliki pengetahuan atau pengalaman langsung tentang orang, peristiwa, atau keadaan tertentu, dan oleh karena itu berwenang untuk berbicara dan bersedia melakukannya."[1] Dalam Perjanjian Baru, istilah tersebut dan istilah serumpunnya sering diterapkan pada orang Kristen, yang bersaksi tentang Kristus, sering kali dalam sidang pengadilan sesungguhnya, ketika klaim-klaim-Nya dibantah dan kesetiaan mereka diuji dengan penganiayaan.

Transisi kata ini dalam komunitas Kristen mula-mula dari saksi menjadi istilah bahasa Inggris martir" berfungsi sebagai pengingat yang sangat baik tentang apa yang terjadi pada orang Kristen ketika mereka memberikan kesaksian tentang Kristus. Dalam Kisah Para Rasul 1:8, Yesus memberi tahu para rasul bahwa mereka harus menjadi "saksi" (martir)-Nya di Yerusalem, Yudea, Samaria, dan sampai ke ujung bumi. Pada titik ini, kata tersebut tidak memiliki asosiasi dengan kematian, meskipun dalam Kisah Para Rasul 22:20 kita membaca tentang "darah Stefanus", "saksi" Tuhan (Yunani, martyros), yang ditumpahkan. Namun, baru pada akhir penulisan kanon Perjanjian Baru istilah martys diasosiasikan dengan kematian.[2]

Pada akhir era para rasul, Kristus yang bangkit dalam Wahyu 2 memuji hamba-Nya Antipas, "saksinya yang setia", yang dibunuh karena imannya di Pergamus, "tempat Iblis tinggal" (Wahyu 2:12-13). Pergamus, perlu dicatat, adalah pusat utama pemujaan kaisar di Asia Kecil, dan kota pertama di daerah itu yang membangun kuil untuk kaisar Romawi, Augustus Caesar. Mungkin penolakan Antipas untuk mengakui Caesar sebagai Tuhan dan menyembah dia yang menyebabkannya mati sebagai martir.[3] Diperkirakan bahwa pada pertengahan abad pertama, sekitar delapan puluh kota di Asia Kecil telah mendirikan kuil-kuil yang didedikasikan untuk pengultusan pada kaisar.[4]

Kata martys pertama kali diartikan sebagaimana maknanya sekarang dalam komunitas Kristen di Asia Kecil, di mana perjumpaan kekerasan antara gereja dan kekaisaran terjadi sangat intens.[5] Dalam hal ini, tentu saja, bukanlah kebetulan bahwa Asia Kecil "sangat menyenangi secara luar biasa" hiburan kekerasan dari pertunjukan gladiator. Bahkan, ada sekolah pelatihan gladiator di Pergamus. Seiring dengan ketertarikan semacam itu pada kekerasan, tentunya akan ada permintaan korban yang lebih banyak dibandingkan jumlah gladiator yang ada. Jadi, sumber korban tersebut kebanyakan adalah orang-orang Kristen, dibandingkan kelompok lain.[6]

Jadi, kata martys menjadi terbatas penggunaannya dalam satu makna: bersaksi tentang pribadi dan karya Kristus sampai mati. Stefanus dan Antipas adalah yang pertama dari banyak martir seperti itu dalam Kekaisaran Romawi.

Penganiayaan oleh Kaisar Nero

Salah satu bentrokan yang paling berkesan antara gereja dan kekaisaran adalah apa yang kemudian disebut penganiayaan di bawah pemerintahan Kaisar Nero. Pada pertengahan Juli 64, kebakaran dimulai di jantung kota Roma dan berkobar di luar kendali selama hampir seminggu serta memusnahkan sebagian besar kota. Setelah dipadamkan, dikabarkan bahwa kaisar Nero (memerintah 54 -- 68) sendiri yang memulainya, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa Nero ingin meratakan ibu kota kekaisaran untuk membangun kembali kota dengan gaya yang sesuai dengan konsep kebesarannya sendiri. Sadar bahwa dia harus menghilangkan kecurigaan terhadapnya, maka Nero menyalahkan orang-orang Kristen atas kebakaran tersebut.

Deskripsi paling lengkap yang kita miliki tentang kekerasan terhadap gereja diutarakan oleh sejarawan Romawi Tacitus (sekitar 55 -- 117), yang menggambarkan eksekusi orang-orang Kristen sebagai berikut:

"Untuk menghilangkan desas-desus (bahwa dia yang menyalakan api), Nero menuduh sekelompok orang -- yang oleh orang banyak disebut sebagai orang Kristen, dan dibenci karena gaya hidup mereka -- sebagai pelaku, dan dihukum dengan kekejaman yang sangat jahat. Kristus, dari siapa mereka mendapatkan nama mereka, telah dieksekusi oleh prokurator Pontius Pilatus ketika Tiberius menjadi kaisar; dan takhayul yang sesat diperiksa dalam jangka waktu singkat, hanya untuk muncul kembali, tidak hanya di Yudea, asal dari wabah tersebut, tetapi di Roma sendiri, di mana semua hal yang mengerikan dan memalukan di dunia berkumpul dan menemukan rumah."

Alih-alih membasmi Kekristenan, penganiayaan sering kali menyebabkannya berkembang.


Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Pertama-tama, mereka yang mengaku ditangkap; kemudian, berdasarkan informasi mereka, sejumlah besar orang dihukum, bukan atas dasar pembakaran, melainkan karena kebencian terhadap ras manusia. Eksekusi mereka dianggap sebagai olahraga: beberapa dijahit dengan kulit binatang buas dan dibunuh dengan kejam oleh anjing; yang lain diikat ke salib sebagai obor hidup, dan berfungsi sebagai lampu ketika malam hari. Nero menyediakan tamannya untuk pertunjukan dan mengadakan permainan di Circus, berbaur dengan orang banyak atau berdiri di keretanya dengan seragam kusir. Oleh karena itu, meskipun para korban adalah penjahat yang pantas mendapatkan hukuman berat, rasa kasihan bagi mereka mulai bermunculan dalam hati rakyat, karena seolah-olah mereka dikorbankan untuk memuaskan nafsu kekejaman satu orang daripada untuk kepentingan umum.[7]

Sejumlah orang Kristen -- termasuk rasul Petrus, menurut tradisi Kristen mula-mula yang tampaknya benar [8] -- ditangkap dan dieksekusi. Kejahatan yang dituduhkan kepada mereka seolah-olah karena pembakaran. Tacitus tampaknya meragukan kebenaran dari tuduhan ini, meskipun dia percaya bahwa orang Kristen sungguh "dibenci karena kejahatan mereka." Teks Tacitus hanya menyebutkan satu sifat buruk secara eksplisit: "kebencian terhadap ras manusia." Mengapa orang Kristen, yang mengkhotbahkan pesan kasih ilahi dan yang diperintahkan untuk mengasihi bahkan musuh mereka, dituduh melakukan kejahatan seperti itu?

Nah, jika seseorang melihatnya melalui mata orang-orang pagan Romawi, logikanya tampaknya tak terbantahkan. Bagaimanapun, dewa-dewa Romawilah yang menjaga keamanan kekaisaran. Akan tetapi, orang-orang Kristen menolak untuk menyembah dewa-dewa ini -- dengan demikian tuduhan "ateisme" kadang-kadang dilontarkan kepada mereka.[9] Oleh karena itu, banyak tetangga kafir mereka beralasan, mereka tidak dapat mencintai kekaisaran atau penduduk kekaisaran. Orang-orang Kristen dengan demikian secara fundamental dipandang sebagai kelompok anti-Romawi dan karenanya jelas merupakan bahaya bagi kekaisaran.[10]

'Darah Orang Kristen Adalah Benih'

Serangan terhadap gereja ini merupakan titik balik dalam hubungan antara gereja dan negara Romawi pada tahun-tahun awal tersebut. Ini menjadi preseden penting. Kekristenan lalu dianggap ilegal, dan selama 140 tahun berikutnya negara Romawi melakukan penganiayaan sporadis terhadap gereja. Namun, patut dicatat bahwa tidak ada kaisar yang memulai penganiayaan di seluruh kekaisaran sampai awal abad ketiga, dan itu dimulai dengan Septimius Severus (memerintah 193 -- 211).[11] Meskipun demikian, kemartiran adalah kenyataan yang harus selalu diingat oleh orang-orang percaya selama periode gereja kuno ini.

Akan tetapi, penganiayaan tidak selalu memiliki efek yang diharapkan oleh orang-orang Romawi. Alih-alih membasmi Kekristenan, penganiayaan sering kali menyebabkannya berkembang. Seperti yang dikatakan Tertullian (lahir sekitar tahun 155), teolog Kristen pertama yang menulis dalam bahasa Latin, "Semakin Anda berusaha merobohkan kami, semakin kami bertumbuh: darah orang Kristen adalah benih."[12] Dan, seperti yang dia katakan pada kesempatan lain: "Siapa pun yang melihat ketekunan mulia (para martir) akan pertama-tama -- seolah-olah dilanda kegelisahan -- didorong untuk mencari tahu hal apa yang sebenarnya dipertanyakan, dan kemudian ketika dia mengetahui kebenaran, ia segera mengikuti cara yang sama."[13]

Melampaui Semua Kasih Duniawi

Selama Abad Pertengahan, berbagai cerita tentang Santo Valentine beredar dan dibumbui, memperkuat kenangan terhadapnya sebagai seorang martir. Namun, seorang penulis abad pertengahan, Geoffrey Chaucer (1340-an -- 1400), yang secara eksplisit menghubungkan cinta romantis dengan Santo Valentine dalam sebuah puisi berjudul "Parliament of Fowls", yang menggambarkan berkumpulnya sekelompok burung pada "seynt valentynes day" untuk memilih pasangan mereka.

Sejauh mana Chaucer memengaruhi kaitan selanjutnya antara Hari Santo Valentine dan pasangan kekasih tidak begitu jelas, tetapi pada awal abad kelima belas, pasangan kekasih saling mengirim catatan cinta pada Hari Santo Valentine. Tentu saja, dengan munculnya budaya komersial Barat pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas, praktik ini dimodifikasi kembali dan menjadi bagian penting dari dunia komersial seperti yang kita lihat sekarang. Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan tradisi komersial modern, tetapi Hari Santo Valentine adalah hari yang baik untuk juga mengingat bahwa ada kasih yang melampaui semua kasih duniawi: kasih kita kepada Allah kita yang agung, serta Juru Selamat kita, Putra ilahi-Nya yang terkasih, Yesus.

  1. Allison A. Trites, The New Testament Concept of Witness (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 9.
  2. G.W. Bowersock, Martyrdom and Rome (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 1-21.
  3. Paul Keresztes, "The Imperial Roman Government and the Christian Church. I. From Nero to the Severi" dalam Aufstieg und Niedergang der romischen Welt, ed. Hildegard Temporini dan Wolfgang Haase (Berlin: Walter de Gruyter, 1979), II.23.1, 272; G.K. Beale, The Book of Revelation (Grand Rapids: Eerdmans, 1999), 246.
  4. Christopher A. Frilingos, Spectacles of Empire: Monsters, Martyrs, and the Book of Revelation (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2004), 22-23.
  5. Theofried Baumeister, "Martyrdom and Persecution in Early Christianity," trans. Robert Nowell, dalam Martyrdom Today, ed. Johannes-Baptist Metz dan Edward Schillebeeckx (Edinburgh: T&T Clark, 1983), 4.
  6. Bowersock, Martyrdom and Rome, 17-18; Keresztes, "Imperial Roman Government and the Christian Church," 272.
  7. Tacitus, Annals 15.44.3-8, trans. F.F. Bruce, Paul: Apostle of the Heart Set Free (Grand Rapids: Eerdmans, 1977), 442.
  8. See Tertullian, Scorpiace 15.3.
  9. See Justin Martyr, 2 Apology 3.
  10. W.H.C. Frend, "Persecutions," dalam Encyclopedia of the Early Church, ed. Angelo Di Berardino, trans. Adrian Walford (New York: Oxford University Press, 1992), II, 673. Orang Kristen juga dituduh melakukan incest, sepertinya karena kesalahpahaman mengenai pernyataan yang sering dikemukakannya tentang mengasihi saudara-saudari mereka dalam Kristus; dan juga dengan kanibalisme, sebuah kesalahpahaman tentang Perjamuan Terakhir. Lihat Justin Martyr, 2 Apology 12; Theophilus, To Autolycus 3.4, 15; Minucius Felix, Octavius 9.2, 5; 28.2; 30-31.
  11. Beberapa cendekiawan beranggapan bahwa penganiayaan besar pertama di kekaisaran dilakukan oleh Kaisar Decius (reign 249-251) pada akhir 240.
  12. Tertullian, Apology 50.13.
  13. Tertullian, To Scapula 5, dalam Tertullian: Apologetical Works and Minucius Felix: Octavius, trans. Rudolph Arbesmann, Emily Joseph Daly, dan Edwin A. Quain (New York: Fathers of the Church, Inc., 1950), 161.

(t/N. Risanti)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Desiring God
Alamat situs : https://desiringgod.org/articles/the-martyred-lover
Judul asli artikel : The Martyred Lover
Penulis artikel : Michael A.G. Haykin
 

Member login

Request new password