Home » Pemuda Kristen » Menghasilkan yang Baik dari yang Buruk
Klik x untuk menutup hasil pencarian. Cari di situs Remaja Kristen
Menghasilkan yang Baik dari yang Buruk
Puspo adalah orang yang amat menyebalkan. Lagaknya, sombong, sok tahu! Sebab itu, sangat wajar bila sikap kita terhadapnya pun sepadan dengan itu. Bahkan, kalau bisa, lebih "nyebelin"! Biar tahu rasa!
Namun, mari kita menenangkan diri sejenak. Cobalah kita perhatikan dan evaluasi, apa yang dihasilkan dari reaksi "alamiah" kita itu. Positifkah? Saya rasa tidak. Reaksi negatif kita itu ternyata bahkan membuat orang seperti Puspo tambah menyebalkan. Padahal, pasti bukan ini yang kita harapkan. Ada yang kita harapkan dari melakukan "pembalasan" yang setimpal adalah membuatnya jera, sadar, dan, kalaupun tidak berubah menjadi menyenangkan, paling sedikit tidak terlalu menyebalkan.
Sebab itu, yang perlu kita bicarakan sekarang adalah apakah ada kemungkinan untuk -- seperti teka-teki Simson -- mendorong agar "dari yang makan, keluar makanan; dan dari yang kuat keluar manisan" (Hakim-Hakim 14:14). Dengan kata lain, merangsang yang "terbaik" keluar dari situasi yang "terburuk"? Mungkinkah ini?
Mungkin saja! Jika Anda mau memberi pengaruh positif kepada mitra komunikasi Anda, tidak ada jalan lain, menurut Brinkman dan Kirschner, "kecuali Anda sendiri harus bersikap positif" -- betapa pun "negatif"-nya orang yang Anda hadapi itu!
Sebuah eksperimen menarik pernah dilakukan di Chicago, Amerika Serikat. Untuk keperluan eksperimen tersebut, para peneliti merekrut beberapa guru. Kepada para guru itu disampaikan bahwa mereka akan mengajar kelas-kelas khusus dengan murid-murid yang istimewa alias "jenius". Mereka -- guru-guru itu -- dipilih juga karena mereka dinilai sebagai guru dengan kemampuan istimewa pula. Catatan penting: baik para siswa maupun orang tua mereka, sama sekali tidak diberi tahu apa-apa mengenai eksperimen ini.
Hasilnya menakjubkan. Kemampuan intelektual para siswa meningkat melebihi rata-rata. Melihat hasil ini, para guru itu bahagia sekali dan merasa berhasil. Bahkan, mereka mengusulkan agar, kalau mungkin, untuk seterusnya mereka ditugaskan mengajar di kelas istimewa. Namun, alangkah terkejutnya mereka ketika diberi tahu bahwa anak-anak itu sebenarnya murid-murid yang "biasa-biasa" saja, yang dipilih secara acak dari beberapa sekolah di Chicago. Sebelum guru-guru itu menjadi "besar kepala" karena mengagumi prestasi mereka sendiri, mereka juga diberi tahu bahwa mereka sebenarnya dipilih secara acak, bukan karena kemampuan istimewa mereka!
Para peneliti, Rosenthal dan Jacobsen, menamakan fenomena khusus ini sebagai "efek pygmalion". Kesimpulan dari eksperimen tersebut adalah bahwa harapan yang tinggi terhadap para siswa -- karena dianggap "anak-anak jenius" -- walau tidak pernah dikemukakan kepada mereka secara eksplisit, ternyata telah mendorong para siswa itu menjadi lebih percaya diri dan bertindak serupa. Dengan kata lain, semakin tinggi penilaian dan kepercayaan kita terhadap seseorang, semakin bagus pula kinerja atau performance mereka. Studi-studi sejenis juga membuktikan bahwa "jatuh" atau "bangun"-nya seseorang amat ditentukan oleh tinggi-rendahnya penilaian orang lain kepadanya.
Tanpa Anda sadari, Anda sebenarnya telah memanfaatkan "efek pygmalion", ketika dengan mata terbelalak Anda berteriak kepada anak Anda, "Entah sudah berapa kali Papa (atau Mama) katakan bahwa kamu ini memang jorok (atau goblok, atau pemalas, atau pembohong)! Tidak bisa diperbaiki lagi!" Bila dia berulang kali mendengarnya, anak Anda pun lambat-laun akan percaya bahwa dia memang jorok dan tidak bisa diperbaiki lagi! Dia akan bersikap seperti itu pula.
"Efek pygmalion" yang berdampak negatif itu juga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan sesuatu yang positif! Artinya, ini dapat dimanfaatkan untuk mendorong yang positif keluar dari yang negatif. Menghadapi situasi yang sama, orang tua yang bijaksana akan mengatakan, kira-kira, "Aduh, kotornya kamarmu! Kok beda banget dari anak Mama yang Mama kenal. Anak Mama 'kan biasanya keren, rapi, pembersih! Kamu mungkin sedang tidak sempat, ya? Oke kalau begitu, segera setelah kamu sempat, Mama percaya kamu pasti dan mau merapikan kamarmu!"
Memang wajar dan alamiah jika kita pun ikut-ikutan sebal ketika menghadapi orang yang menyebalkan. "Inilah yang selalu jadi masalah, setiap kali berhubungan dengan Anda! Anda selalu ...! Anda tidak pernah ...! Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa menghadapi Anda!"
Beruntungnya saya memilih kemungkinan yang lain. Walaupun dengan menahan emosi, saya berkata, "Wah, terima kasih sekali untuk maksudmu yang mulia, mau menolong aku!" Lalu, (mungkin) dia -- dengan bangga -- akan menjawab, "Oh, terima kasih kembali! Tapi itu gunanya teman, 'kan?" Dan saya akan berkata, "Tentu! Tapi untuk kali ini, kalau kau benar-benar teman, dan kalau kau benar-benar ingin menolong aku, please, aku ingin kerja sendiri malam ini! Lain kali, kalau perlu bantuanmu, pasti kamu orang pertama yang akan aku hubungi!"
Yang harus kita ingat adalah bila kita mengatakan bahwa lawan bicara kita salah, dengan sendirinya -- secara spontan -- ia pasti akan berubah jadi defensif.
Lalu, bagaimana menghadapi kritik dan kecaman? Memang ini tidak mudah. Bukan hanya orang lain, kita pun akan cenderung defensif bila dipersalahkan. Apalagi kalau kita tahu bahwa kritik itu hanya dicari-cari. Wajar saja bila kemudian kita merasa diperlakukan tidak adil, dipersalahkan untuk hal yang tidak kita buat. Akan tetapi, bila kita bersikap ngotot membela diri, pengalaman menunjukkan bahwa hal itu akan lebih banyak mengundang serangan balik, ketimbang membuat pengkritik kita itu sadar. Karena itu, nasihat Brinkman dan Kirschner, sekiranya suatu percakapan yang cerdas dan rasional tidak mungkin Anda harapkan, jalan terbaik adalah mengakhiri pembicaraan.
Caranya? Nyatakanlah terima kasih Anda -- tanpa pembelaan diri, tanpa penjelasan, dan tanpa pembenaran. Dua kata itu, yaitu "terima kasih", sudah cukup. Atau, bila mau lebih manis, katakanlah, "Terima kasih untuk keterusterangan Anda" maupun "Terima kasih karena telah memberitahukan apa perasaan Anda tentang diri saya." Ringkas, kaya makna, dan enak di telinga.
Kapan-kapan bila ada orang mengkritik Anda dengan membabi-buta, cobalah strategi ini. Memang sulit, bersikap mengalah tanpa membantah itu tidak gampang. Namun, kita akan mendapat "keuntungan" jangka panjang yang amat berharga, yaitu kedamaian.
Apa lagi ini juga sangat kristiani, bukan? Alkitab mengatakan bahwa jalan terbaik menghadapi "fitnah" bukanlah perdebatan, tetapi dengan melakukan yang benar. "Milikilah cara hidup yang baik ... supaya apabila mereka memfitnah kamu ... mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik, dan memuliakan Allah" (1 Petrus 2:12). Berpikir positif, bersikap positif, bertindak positif!
Diambil dari: | ||
Judul buku | : | 10 Tipe Orang Menyebalkan dan Cara Menghadapi Secara Alkitabiah |
Judul bab | : | Menghasilkan yang Baik dari yang Buruk |
Judul artikel | : | Menghasilkan yang Baik dari yang Buruk |
Penulis | : | Eka Darmaputera |
Penerbit | : | BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2010 |
Halaman | : | 22 -- 23 |