Klik x untuk menutup hasil pencarian. Cari di situs Remaja Kristen
Berani Berbeda
Bagaimana perasaan kita jika semua anggota rombongan sepakat mengenakan baju hitam sesuai kesepakatan sedangkan kita satu-satunya orang yang berbaju putih? Canggung. Kita merasa canggung menjadi satu-satunya orang yang berbeda. Berbeda dianggap aneh, dan tidak ada orang yang mau dianggap aneh.
Golongan usia yang paling takut berbeda dengan kelompok teman adalah remaja. Pada tahap usia ini, remaja sedang memisahkan diri dari orang tua. Sebagai gantinya, mereka mati-matian menyamakan diri dengan kelompoknya. Di sini, terjadi konformisme (Latin con berarti sama dan forma berarti bentuk). Mereka meniru gaya bicara, model pakaian, potongan rambut, dan perilaku teman supaya serupa, agar bisa diterima dalam lingkaran kelompok itu. Tanpa memperhitungkan keburukannya, mereka langsung mematuhi kelompok.
Peniruan dan konformisme ini wajar terjadi pada tahap usia remaja karena mereka sedang berada dalam proses mencari identitas ego. Mereka belum mempunyai orisinalitas atau keaslian sendiri. Akibatnya, mereka meniru ke sana-sini.
Krisis orisinalitas ini biasanya berlangsung beberapa bulan atau tahun. Yang menjadi persoalan adalah jika kecenderungan meniru ini berlangsung berkepanjangan, yaitu jika kita sudah menjadi pemuda atau dewasa, tetapi masih suka meniru. Hal itu dapat merugikan diri kita sendiri. Misalnya, kita jadi sulit membuat keputusan. Kita mudah terbawa. Kita takut berbeda dari orang lain, baik berbeda pendapat, berbeda minat, atau berbeda penampilan. Kita seakan-akan takut menjadi diri sendiri. Kita mencari aman dengan cara menyamakan diri. Kita bersikap konformistis, yaitu cepat menyerah dan menyesuaikan diri dengan norma lingkungan sekitar tanpa pertimbangan yang rasional. Kita tidak berani berbeda karena kita menganggap berbeda itu buruk, padahal berbeda juga punya konotasi positif.
Sebuah kisah tentang pemuda yang berani berbeda dari lingkungan adalah kisah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego yang terdapat dalam kitab Daniel. Mereka adalah tenaga kerja Israel yang dibawa paksa ke Babel. Sebagai negara penjajah, Babel memanfaatkan tenaga-tenaga terpelajar dan terampil dari wilayah jajahan. Sadrakh, Mesakh, dan Abednego mendapat pekerjaan yang penting di istana raja.
Pada suatu hari, semua pejabat dan staf istana diundang menghadiri upacara agama Babel, yaitu peresmian patung dewa emas setinggi 27 meter. Hadirin yang beragama lain tidak diberi kebebasan beragama sehingga mereka wajib ikut menyembah patung itu.
Lalu, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, yang menganut agama lain berkata dengan sopan, tetapi tegas, kepada raja, "Baginda yang mulia ... hendaknya Tuanku maklum bahwa kami tidak akan memuja dewa Tuanku dan tidak pula menyembah patung emas yang Tuanku dirikan itu" (Daniel 3:16-18, BIMK).
Raja geram. Dia melemparkan ketiga pembangkang itu ke dalam perapian. Akan tetapi, kemudian raja terbelalak karena ketiga pembangkang itu ternyata tidak terbakar sedikit pun. Ajaib! Lalu, siapa itu? Ternyata, tampak seorang malaikat berdiri mendampingi ketiga pemuda itu.
Raja segera mengeluarkan ketiga pemuda itu dari perapian sambil berlirih terkagum-kagum, "Pujilah Allah yang disembah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego." (Daniel 3:28, BIMK) Lalu, yang empunya cerita membulatkan kisah dramatis ini dengan catatan bahwa sejak hari itu, di kerajaan Babel berlaku kebebasan untuk menganut agama yang berbeda-beda.
Kitab Daniel ditulis sekitar tahun 165 sM. Ketika itu, umat Yahudi disiksa karena berbeda agama oleh raja Suriah yang bernama Antiokhus IV Epifanes. Demi zamannya, penulis menyamarkan diri sebagai tokoh Daniel yang hidup sekitar 450 tahun sebelumnya. Tujuan cerita jelas untuk menguatkan dan menyemangati umat agar berani berbeda dan berani jadi diri sendiri.
Menjadi berbeda memang ada risikonya. Mungkin kita satu-satunya murid yang berambut kribo di kelas. Mungkin kita satu-satunya orang dengan etnik dan berlogat A di kantor. Mungkin kita satu-satunya orang yang beragama B di perumahan itu. Risikonya bisa jadi kita dicemooh dan mendapat cibiran.
Padahal, berbeda adalah suatu keniscayaan. Artinya, mau tidak mau, tiap orang pasti berbeda. Penampilan dan perawakan tiap orang berbeda, apalagi pendapat dan perasaan tiap orang. Tiap individu adalah unik. Dua anak kembar yang mempunyai struktur genetik yang identik pun pada usia dewasa akan memilih jalan hidup dan keyakinan yang berbeda. Di dunia ada begitu banyak orang, tetapi tiap orang punya sidik jari yang berlainan.
Oleh sebab itu, kita tidak usah canggung menjadi satu-satunya orang yang berlogat A atau satu-satunya orang yang beragama B di lingkungan kita. Tidak usah kita menyombongkan perbedaan itu, tetapi sebaliknya, tidak usah pula kita menyembunyikannya. Meskipun berbeda, kita bisa berpadu dengan lingkungan sekitar. Masak orang hanya bisa bergaul dengan sesama etniknya? Masak orang hanya bisa bekerja sama dengan sesama penganut agamanya? Sungguh sempit pandangan semacam itu.
Tiap orang berbeda. Justru perbedaan itulah yang membuat dia punya keistimewaan. Apakah yang membuat seorang penyanyi, pemusik, penari, pemahat, pelukis, atau penulis menjadi unggul dan "ngetop"? Sebab, dia tidak mencontek. Sebab, dia lain dari yang lain. Sebab, dia orisinal. Sebab, dia berani menjadi dirinya sendiri.
Kalau bisa menjadi diri sendiri, mengapa kita tidak mau menjadi diri kita sendiri? Kalau bisa mengembangkan diri sendiri, apa perlunya menjiplak diri orang lain? Apa salahnya jadi diri sendiri dan berbeda dengan orang lain?
Diambil dan disunting dari: | ||
Judul buku | : | Selamat Berpadu -- 33 Renungan tentang Perbedaan |
Judul bab | : | Berani Beda |
Penulis | : | Andar Ismail |
Penerbit | : | BPK Gunung Mulia, Jakarta 2008 |
Halaman | : | 108 -- 111 |
- Login to post comments