Home » Pemuda Kristen » 3 Narasi Budaya yang Sama-Sama Dialami oleh Kaum Muda Gen Z dan Gen Alpha
Klik x untuk menutup hasil pencarian. Cari di situs Remaja Kristen
3 Narasi Budaya yang Sama-Sama Dialami oleh Kaum Muda Gen Z dan Gen Alpha
Sembari memikirkan tentang pergumulan siswa hari ini, saya terus mengingat sebuah cerita dari Injil Matius. Yesus mengajukan pertanyaan kepada murid-murid-Nya, "Menurut perkataan orang, siapakah Anak Manusia itu?" (Mat. 16:13, AYT). Mereka menjawab dengan menceritakan kembali banyak cerita yang telah mereka dengar: "Beberapa mengatakan Yohanes Pembaptis, yang lain mengatakan Elia, dan yang lain lagi mengatakan Yeremia atau salah satu dari para nabi" (ay. 14). Kemudian, tanpa membahas apa yang dikatakan orang lain, Yesus melanjutkan pertanyaan-Nya dengan pertanyaan lain: "Akan tetapi, menurutmu, siapakah Aku ini?" (ay. 15).
Apa yang mengejutkan saya tentang momen ini adalah keanehan dari pertanyaan pertama. Mengapa Yesus meminta murid-murid-Nya untuk mengulang informasi yang tidak benar daripada mengatakan saja apa yang benar?
Yesus dengan sengaja membantu murid-murid-Nya terlebih dahulu mengidentifikasi asumsi budaya. Dia ingin mereka melihat Injil berbeda dengan cerita yang mereka dengar. Selama bertahun-tahun memuridkan gadis remaja, saya belajar perlunya mengikuti teladan-Nya. Kaum muda perlu memahami cerita-cerita yang disampaikan oleh generasi mereka sehingga mereka dapat melihat keindahan Kristus yang lebih besar.
Pelayanan Kaum Muda di Ruang Antara
Sebagian besar pelayan siswa baru saja mulai memahami nuansa dan ciri khas Gen Z. Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk mempelajari bahasa sehari-hari mereka, memahami lensa pandangan dunia mereka, dan bergulat dengan kebutuhan teknologi mereka yang terus berubah. Akan tetapi, seperti setiap generasi sebelumnya, Gen Z kini telah mulai beranjak dewasa.
Gen Z yang lebih tua sekarang berusia pertengahan 20-an, dan Gen Alpha, yang terdepan yang lahir pada 2010-12, mengetuk pintu sekolah menengah. Musim gugur ini, generasi pertama dari generasi baru akan berkeliaran di aula pelayanan siswa kami sebagai siswa kelas enam. Ini berarti para pemimpin pelayanan kaum muda memasuki ruang transisi yang indah dan unik antara generasi yang hanya datang setiap 15 hingga 20 tahun.
Saat kita memikirkan pemuridan dalam ruang antara generasi, penting untuk menanyakan tema budaya apa yang membentuk kedua kelompok ini. Akan ada banyak perbedaan, tetapi di sini ada tiga narasi budaya yang sama-sama dimiliki oleh kaum muda Gen Z dan Alpha.
1. Pasca-Kristen
Pada tahun 2017, James Emery White memberi Gen Z julukan generasi pertama yang benar-benar pasca-Kristen di Amerika, yang dibesarkan "bahkan tanpa mengingat Injil." Pendeta kaum muda pernah dapat mengasumsikan pengetahuan alkitabiah tingkat dasar di antara para siswa, tetapi tidak lebih. Bahkan, bagi kaum muda yang dibesarkan di daerah-daerah yang memiliki budaya gereja, literasi alkitabiah berada pada titik terendah dalam sejarah Amerika.
Baru-baru ini, saya berjalan dengan seorang siswa dan kami melewati papan nama gereja. Bunyinya "Yesus mati di kayu salib untuk dosa-dosamu." Gadis muda itu merespons, "Yah, itu menyedihkan dan tidak wajar." Setelah mengajukan lebih banyak pertanyaan, saya segera melihat pernyataan singkat ini membawa banyak asumsi budaya. Ketika kaum muda mendengar tentang kematian Yesus tanpa konteks, kedengarannya paling baik adalah membingungkan dan paling buruk adalah menyedihkan.
Untuk menemukan keindahan dan pengharapan dalam Injil, kaum muda perlu mengetahui bahwa mereka adalah orang berdosa, kematian adalah hukuman dosa, dan Yesus menjalani kehidupan tanpa dosa yang tidak dapat dilakukan oleh manusia lain. Baru setelah itu Yesus membayar hukuman dosa adalah kabar baik! Bagi generasi pasca-Kristen, pengetahuan alkitabiah tidak dapat dipahami, jadi pra-penginjilan dan pemuridan lebih penting dari sebelumnya.
2. Pribumi Digital
Generasi Milenial adalah pionir digital. Gen Z dan Alpha adalah penduduk asli digital. Mereka tidak pernah mengenal dunia tanpa teknologi yang tersedia. Kaum muda saat ini menghabiskan, rata-rata, sembilan jam per hari di depan layar. Itu berarti 63 jam -- hampir tiga hari penuh -- per minggu. Akibatnya, seorang gadis berusia 16 tahun di pelayanan kaum muda Missouri kemungkinan memiliki lebih banyak kesamaan budaya dengan seorang anak laki-laki yang seusia di Manhattan daripada dengan seorang berusia 60 tahun di gerejanya sendiri.
Dunia digital yang dihuni siswa dapat sepenuhnya dipisahkan dari dunia fisik mereka. Pemimpin kaum muda mungkin tidak memiliki referensi ke narasi budaya yang diceritakan kepada kaum muda melalui media sosial dan video game. Jadi, mudah bagi para siswa untuk percaya bahwa dunia ini tidak ada hubungannya satu sama lain.
Ini berarti para pelayan kaum muda harus mempelajari keterampilan integrasi teologis. Kita hendaknya membingkai ilustrasi dan pengajaran kita secara kontekstual -- sehubungan dengan objek dan tema budaya (lihat Mrk. 4:1-20; Luk. 18:9-14; 1Kor. 15:33; Kis. 17:24-29). Dan, dengan mengikuti model tanya jawab Kristus, kita harus membantu siswa memahami dan menguraikan narasi budaya yang mereka dengar.
3. Buruk dalam Menunggu
Kaum muda Gen Z dan Alpha telah tumbuh dengan dibatasi oleh, dan sangat menginginkan, kepuasan instan. Dari pembayaran mandiri hingga daftar tunggu virtual untuk restoran, budaya kita telah berusaha keras untuk menghilangkan menunggu. Kita bahkan tidak perlu menunggu berita lagi. Gagasan untuk mengembangkan kebijaksanaan melalui pencarian, pembelajaran, dan melibatkan perenungan adalah sesuatu dari masa lalu. Tanyakan saja pada Google.
Alkitab menceritakan kisah yang berbeda tentang menunggu. Harapan yang ditangguhkan adalah wadah yang dirancang secara ilahi bagi umat Allah, yang diperlukan untuk pemuridan kita. Bagaimana kita mengundang generasi DoorDash (istilah untuk generasi yang selalu menikmati layanan pesan dan antar-online -- Red.) ke dalam cerita yang mengajak mereka untuk berjaga-jaga menjelang kedatangan Kristus kembali?
Kita harus mengajari mereka untuk hidup dalam kenyataan yang sudah-tetapi-belum. Siswa Gen Z dan Alpha membutuhkan kita untuk bermegah tidak hanya atas kemenangan yang akan datang, tetapi juga janji-janji yang digenapi dengan indah di dalam Kristus dan gereja-Nya. Kita perlu menangis bersama mereka karena ketidakadilan sembari mengajar mereka bagaimana Roh membawa penghiburan dalam kesedihan dan bahwa suatu hari Kristus akan membuat segala sesuatu menjadi baru.
Gelombang budaya akan surut dan mengalir, tetapi Injil tidak akan pernah. Karena kita membawa pesan pengharapan dan keselamatan Kristus, kita dapat dengan berani memasuki perairan budaya bersama para siswa. Secara terbuka kita dapat menanyakan apa yang dunia katakan karena kita tahu bahwa kisah-kisahnya tidak dapat bertahan dihadapkan dengan pengakuan Petrus mengenai Yesus: "Engkau adalah Mesias
, Anak Allah yang hidup." (t/Jing-Jing)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | The Gospel Coalition |
Alamat situs | : | https://thegospelcoalition.org/article/cultural-stories-gen-z-alpha |
Judul asli artikel | : | 3 Cultural Stories Shared by Gen Z and Gen Alpha Youth |
Penulis artikel | : | Kendal Conner |
- Login to post comments