Home » Pemuda Kristen » Menjadi Penunjang Bangsa
Klik x untuk menutup hasil pencarian. Cari di situs Remaja Kristen
Menjadi Penunjang Bangsa
Semoga anak-anak lelaki kita seperti tanam-tanaman yang tumbuh menjadi besar pada waktu mudanya; dan anak-anak perempuan kita seperti tiang-tiang penjuru, yang dipahat untuk bangunan istana! … Berbahagialah bangsa yang demikian keadaannya! (Mazmur 144:12,15)
Bukan cuma pemerintah atau orang-orang bijak, Al Kitab pun mengidealkan kaum muda sebagai tulang punggung bangsa. Jika tidak begitu, doa Daud di atas bagi anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan bangsanya tidak akan ditutup dengan kata-kata, "Berbahagialah bangsa yang demikian keadaannya!"
Bahagia, ya, bahagia. Melalui Daud, Allah sedang mengungkapkan kepada kita bahwa suatu bangsa bahagia-atau "mujur" atau "keberkatan"-jika memiliki anak-anak bangsa yang menunjangnya. Yang lelaki berjasa dan berkhasiat besar bagi bangsa ibarat tanam-tanaman; yang perempuan menyangga dan indah merias bangsa ibarat tiang-tiang penjuru pahatan. Mereka berkiprah di segala bidang-politik, ekonomi, sosial, seni, budaya, hankam, hukum, pertanian, peternakan, kelautan, pendidikan, kesehatan, dll, dll-sehingga roda-roda kehidupan bangsa berputar lancar kepada kemajuan dan kebaikan. Itulah yang dipandang ideal oleh Allah dan itulah pula yang seharusnya dipandang ideal oleh umat Allah.
Sayangnya, banyak organisasi gereja dan lembaga pelayanan lalai mengacukan kaum muda Nasrani kepada ideal tersebut. Muda-mudi Nasrani sendiri, termasuk yang sudah banyak belajar Al Kitab, terlengahkan dari ideal itu. Hari ini, jika remaja/pemuda Nasrani diajari hidup saleh, jujur, dan bekerja keras, biasanya tekanannya lebih kepada supaya mereka dikenan Allah. Tetapi di mana ditekankan supaya mereka menggenapi ideal Allah bagi bangsa? Jika mereka berhasil menjadi orang penting, mereka sendiri, akibat penekanan yang didapat selama ini, lekas berpikir soal "menjadi saksi Kristus." Itu tidak salah. Tetapi di mana pemikiran bahwa menjadi orang penting berarti juga memenuhi ideal Allah bagi bangsa?
Tekanan macam itu menyebabkan banyak remaja/pemuda Nasrani hidup tanpa wawasan kebangsaan, tanpa mengarahkan diri untuk menjadi tanam-tanaman dan tiang-tiang penjuru bagi bangsa. Ini tentu saja berpengaruh besar kepada peran umat Nasrani serta perwujudan kehendak Allah dalam berbagai bidang kehidupan bangsa. Ketika kaum muda Nasrani tidak/kurang mengarahkan diri untuk menjadi penunjang bangsa, umat Nasrani berhenti/kurang menyumbang penunjang bangsa. Lebih repot lagi kalau kaum muda umat lain juga kurang mengarahkan diri untuk menunjang bangsa, tetapi lebih banyak berpikir untuk menunjang agamanya. Allah kehilangan agen-agen pewujud kehendak-Nya di kancah bangsa.
Bangsa yang demikian pasti nelangsa. Ia jadi rapuh, reot, dan rentan karena kaum mudanya tidak ambil pusing soal menjadi tulang punggung bangsa. Di dalam dirinya, dan juga di mata Allah (berdasarkan mazmur di atas), bangsa itu sama sekali tidak "bahagia."
Mengapa Lalai?
Mengapa banyak organisasi gereja, lembaga pelayanan, dan muda-mudi Nasrani melalaikan bangsa? Saya bisa pikirkan tiga kemungkinan jawaban:
A. Tidak menyadari takdir berbangsa dan maksud Allah bagi bangsa
Takdir dan maksud Allah ini dinyatakan jelas-jelas oleh Rasul Paulus di depan bangsa Yunani: "Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka, supaya mereka mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing" (Kis. 17:26-27, tekanan oleh saya).
Di sini kita lihat Al Kitab menyatakan bahwa bangsa-"semua bangsa"-dijadikan, diciptakan, dibentuk, dimunculkan oleh Allah. Dan tujuan Allah membuat manusia berbangsa adalah "supaya mereka mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia," yaitu supaya mereka mengalami Dia dalam hidup berbangsa mereka. Masa depan bangsa/berbangsa pun kekal, karena Kitab Suci meramalkan, "Segala bangsa yang Kaujadikan akan datang sujud menyembah di hadapan-Mu, ya Tuhan, dan akan memuliakan nama-Mu" (Mzm. 86:9; lihat juga Why. 15:4).
Jika fakta-fakta gamblang itu tidak kita sadari, karena tidak pernah ditekankan di organisasi gereja/lembaga pelayanan atau karena lain hal, tentu saja kita tidak memahami makna penting bangsa di mata Allah bagi perikehidupan manusia. Dan jika kita tidak memahami makna penting bangsa, tentu saja kita tidak akan ambil pusing untuk menjadi tanam-tanaman dan tiang-tiang penjuru bagi bangsa.
B. Tidak memaknai selarasnya kewargaan surga dengan kewargaan bumi
Meski Paulus berkata, "Kewargaan kita [umat Allah, pen.] adalah di dalam sorga" (Fil. 3:20), ia pun berkata, "Ingatkanlah mereka [umat Allah, pen.] supaya mereka tunduk pada pemerintah dan orang-orang yang berkuasa, taat dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik" (Tit. 3:1). Dengan begitu Al Kitab menandaskan pemaknaan yang berimbang dan selaras terhadap kewargaan surga dan kewargaan bumi (Indonesia).
Jika kita menganggap kewargaan surga penting tetapi kewargaan bumi tidak/kurang penting, jelas kita akan penuh gairah untuk ber-PA, PD, PI tetapi loyo untuk "melakukan setiap pekerjaan yang baik" bagi kemajuan bangsa. Jika kita menganggap kewargaan surga lebih unggul daripada, bukannya selaras dengan, kewargaan bumi, jelas kita akan bersorak-sorai menonton perkembangan Gereja tetapi datar-datar saja menyaksikan keluruhan bangsa. Mungkin keluruhan bangsa malah membuat kita ingin lebih cepat pulang ke "tanah air surgawi," bukannya ingin menjajalkan pengaruh "garam" dan "terang" terhadap busuk dan suram yang melanda tanah tumpah darah.
Itu menyedihkan. Itu pada hakikatnya menyangkali doa kita sendiri, "Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga."
C. Mengira remaja/pemuda "lahir baru" otomatis jadi "pembaharu" bangsa
Dalam surat-suratnya, Paulus menandaskan soal "bertumbuh" (Ef. 4:15) dan "mengerjakan keselamatan" (Fil. 2:12). Artinya, ketika ada orang (remaja/pemuda) yang bertobat dan diselamatkan Kristus, ia tidak otomatis memahami seluruh ideal Allah bagi hidupnya, termasuk ideal tentang menjadi tulang punggung bangsa. Ia perlu bertumbuh dalam hal perangai dan pengertian sehingga dapat menunjang bangsa sebagai salah satu wujud pengelolaan ("mengerjakan") keselamatannya.
Seorang rekan dan penggiat kaum muda asal Surabaya, Agus Lianto namanya, belajar tentang hal itu dari pengalaman. Di milis kaum muda gerejanya ia menulis kata-kata berikut: "Dulu semangat saya adalah untuk memenangkan jiwa, tapi sama sekali tak berpikir tentang mengambil peran dalam membangun bangsa secara nyata. Pokoknya bisa memenangkan sebanyak mungkin mahasiswa, kemudian melibatkan mereka dalam aktivitas-aktivitas gereja, plus mengikuti beberapa kegiatan doa bersama untuk bangsa, sudah pasti satu saat mereka akan menjadi pengubah dunia. ... Tapi ternyata saya keliru. Untuk melahirkan pengubah dunia (bangsa) diperlukan jauh lebih banyak usaha dan energi dari sekedar memenangkan jiwa dan menerjunkan mereka dalam aktivitas pelayanan. Diperlukan perubahan paradigma yang sangat mendasar ... tentang bagaimana seharusnya peran orang Kristen, gereja, Injil, teologi, dst dalam proses pembangunan bangsa dan negara."
Jika kesadaran macam itu merajalela di semua organisasi gereja dan lembaga pelayanan, tidakkah kita akan melihat kebangkitan muda-mudi Nasrani sebagai tanam-tanaman dan tiang-tiang penjuru bagi bangsa?
Penekanan Baru
Bercermin kepada semua itu, saya kira kita tidak dapat lagi melalaikan bangsa. Ideal Allah dan keadaan zaman menuntut kita, karena saat ini pun selaksa dilema menyeret bangsa kita menjauhi bahagia. Ada pembusukan dan penyuraman di berbagai bidang kehidupan kita!
Di titik ini organisasi gereja dan lembaga pelayanan harus insaf dan mulai mengacukan kaum muda Nasrani kepada ideal Allah tentang tulang punggung bangsa. Muda-mudi Nasrani sendiri harus mulai mengarahkan diri kepada ideal itu. Penekanan baru harus kita buat demi bangkitnya kawula muda yang:
A. Cinta dan bangga kepada bangsa
Seperti Daud bin Isai (+1037-970 SM). Raja merangkap nabi ini tidak cuma pintar berdoa agar kaum muda bangsanya menunjang bangsa. Ia sendiri menjadi penunjang bangsa sejak masa mudanya.
Kita ingat bagaimana ia menyongsong raksasa Goliat karena hendak "mengalahkan orang Filistin itu dan … menghindarkan cemooh dari Israel"-dari bangsanya (1 Sam. 17:26). Cinta dan kebanggaan menggugah Daud untuk berjuang memupus cela atas bangsa.
Bukankah cap-cap buruk dan olok-olok tentang Indonesia pun serupa Goliat-Goliat yang mencemooh bangsa kita? "Bangsa terkorup ke-2 di Asia dan ke-5 di dunia," "bangsa yang malas dan manja," "hasil bumi banyak tapi miskin, datang minta sedekah di Malaysia," dsb, dsb-ketika semua ini mendenging di telinga, Sobat muda, tergugahkah kita oleh cinta dan kebanggaan? Demi Tuhan dan demi bangsa, kita juga wajib menghindarkan cemooh dari Indonesia lewat setiap bidang panggilan kita dan menurut kapasitas iman kita.
B. Menemukan dan mengerjakan bagian yang ditentukan Allah dalam menunjang bangsa
Seperti Yosia bin Amon (+649-609 SM). Raja keberkatan ini mulai mencari Allah di usia 16 tahun dan mulai membersihkan bangsanya dari kecemaran dosa di usia 20 tahun (2 Taw. 34:1-3). Masih muda sekali! Daud, bapak leluhurnya, pasti girang gembira karena dia.
Tetapi ia tidak berkiprah secara "rohani" saja. Kepada Yoyakim, putera Yosia yang fasik, Allah pernah berfirman, "[Ayahmu] melakukan keadilan dan kebenaran, serta mengadili perkara orang sengsara dan orang miskin dengan adil. Bukankah itu namanya mengenal Aku?" (Yer. 22:15-16). Yosia telah memahami bagiannya dalam menunjang bangsa (yakni sebagai raja/negarawan) dan melaksanakannya dengan sekuat tenaga.
Hari ini ketidakbenaran yang menjangkiti bangsa Indonesia di segala sektor- niaga, hukum, seni, politik, pendidikan, dst-menantang kaum muda tampil menjadi para pembaharu. Sebagaimana Yosia, tidakkah kita akan mencari Allah sejak belia dan mengetahui bagian kita dalam menunjang bangsa? Segala bekal rohani, segala hikmat dan kapasitas dari surga, perlu kita corongkan untuk memajukan dan membersihkan bangsa dengan "melakukan keadilan dan kebenaran." Menurut Al Kitab, itu namanya mengenal Allah.
C. Mengupayakan kesejahteraan bangsa
Seperti Johannes Leimena (1905-1977). Dokter dan negarawan saleh asal Ambon ini turut melafalkan Sumpah Pemuda bersama anak-anak muda Nusantara lainnya di tahun 1928. Juangnya bagi bangsa disemangati wawasan Al Kitabiah, meski pamannya sendiri, induk semangnya di Jakarta, menganggap sudah takdir Allah Indonesia dijajah Belanda.
Leimena muda belajar giat hingga menjadi dokter, lalu negarawan, yang cakap. Waktu menduduki kursi Menteri Kesehatan, dipikirkankannya cara supaya rakyat Indonesia bisa mendapat pelayanan kesehatan yang mudah dan murah. Dari sinilah lahir balai-balai kesehatan masyarakat-Puskesmas!-di seantero Indonesia, satu di antara banyak sumbangsih tokoh terkasih ini bagi kesejahteraan bangsa.
Kita pun dapat, dengan pertolongan Tuhan, mengunjuk sumbangsih mulia sesuai dengan bidang gelutan masing-masing. Kita dapat menuntut ilmu segigih-gigihnya; merancang situs internet yang baik dan bagus; membangun gedung yang kuat, indah, dan aman; menggubah lagu cinta yang luhur; mengembangkan benih unggulan; dll, dll. Apa pun bidang yang dijatahkan Allah, kita harus mengelola dan menyasarkannya kepada kesejahteraan bangsa.
D. Rela berkorban bagi bangsa
Seperti Robert Wolter Monginsidi (1925-1949). Pemimpin gerilya muda yang ditakuti Belanda ini mencintai Allah dan Indonesia sampai saat akhir. Di depan regu tembak, di usia yang belum lagi 25 tahun, dipegangnya Al Kitab di tangan kiri dan diacungkannya kepalan tangan kanan sambil berseru, "Merdeka!" Saat itulah muntahan peluru mengambil nyawanya ke rumah Bapanya.
"Berkorban untuk tanah air," tulis pemuda Minahasa itu, "mendekati pengenalan kepada Tuhan Yang Maha Esa." Mengapa? Mengapa begitu? Karena Yesus sendiri berkata, "Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya" (Yoh. 15:13). Dan Yesus juga menyatakan bahwa hukum yang kedua, "Kasihilah sesamamu manusia," sama dengan yang pertama, "Kasihilah Allah, Tuhanmu" (Mat. 22:39).
Dalam mencinta, dalam berkiprah, dalam berupaya, dalam mengejar ideal selalu ada pengorbanan-peluh, waktu, air mata, harta benda, bahkan darah. Kita yang mencium aroma ideal Allah, tidak akan menahan semua itu dari bangsa. Sebaliknya, seperti Monginsidi, kita akan menunjukkan bahwa kaum muda pengikut Kristus amat mudah menghayati syair agung ini: "Bagimu negeri jiwa raga kami."
==================
Kemudaan dan kebahagiaan! Ideal Allah memang tepat, bangsa bahagia apabila anak-anaknya menunjangnya. Jiwa-jiwa muda, seperti empat yang di atas, memperagakan di depan kita bahwa iman kepada Allah bukan cuma urusan di balik tembok gereja/persekutuan belaka, melainkan di tengah bangsa pula. Di Indonesia, ideal Allah itu secara khusus bergaung dalam lagu Alfred Simanjuntak, "Bangun pemudi-pemuda Indonesia/Tangan bajumu singsingkan untuk negara/Masa yang akan datang kewajibanmulah/Menjadi tanggunganmu kepada nusa." Menurut pengakuan Simanjuntak sendiri, "Tuhan memberikan lagu [Bangun Pemudi Pemuda] ke kuping saya selagi mandi. Saya cepat-cepat mandi, lalu saya tulis segera." Usianya 23 tahun waktu itu (1943) dan lagu itu lekas membuatnya masuk daftar orang yang dicari polisi militer Jepang untuk dihabisi.
Ya, bangunlah, hai pemudi dan pemuda, hai tiang-tiang penjuru dan tanam-tanaman, untuk menjadi penunjang bangsa. Singsingkanlah tangan baju bagi nusa supaya genap sabda Al Kitab, "Berbahagialah bangsa yang demikian keadaannya!"
Oleh: SAM TUMANGGOR
- Login to post comments