Klik x untuk menutup hasil pencarian. Cari di situs Remaja Kristen
Kyai Pendhita Den Bei Samidjo Wirdjotenojo
Pdt. Samidjo Wirdjotenojo dilahirkan di Desa Palihan, menjalani masa kecil di Desa Temon, dan selanjutnya di desa Tlepok ia mulai mengajar sebagai guru Zendingschool selama lima tahun, dan sepuluh tahun sebagai Pendeta Jemaat. Ia dilahirkan pada tanggal 12 Mei 1888 dari pasangan suami istri Wirdjodikromo, tetapi ia tumbuh sebagai anak yatim piatu karena orang tuanya meninggal ketika ia masih kanak-kanak. Setelah menyelesaikan Sekolah Rakyatnya, Samidjo melanjutkan sekolahnya di Eerste Afdelieling Keucheniusschool, satu-satunya sekolah bagi calon guru Sekolah Rakyat dan perawat rumah sakit. Melihat bakat-bakat yang ada padanya, para Misionaris dari Predikanten Zending van de Gereformeerde Kerken in Nederland ([ZGKN] Pendeta Misi Gereja Reformed di Belanda) menetapkannya sebagai guru bantu di sekolah Zending di kawasan Banyumas. Pernikahannya dengan Bidan Mariana Moeso Djojosentono dikaruniai sebelas orang putra dan putri.
Mengawali tugasnya sebagai guru Injil di Purworejo pada tahun 1922, setahun kemudian, tepatnya 13 Februari 1923, ia dialihtugaskan ke Desa Tlepok sebagai guru sekolah, sekaligus guru Injil di sana. Secara periodik, Guru Wirdjo mengundang masyarakat untuk datang ke rumahnya dan ia selalu menyampaikan kabar Injil keselamatan kepada para tamunya. Pekabaran Injil juga dilakukan dengan melakukan perjalanan dari rumah ke rumah. Tutur kata yang halus, "adem", tetapi penuh keteguhan tentang Tuhan yang welas asih membuat banyak warga di Tlepok dibawa ke jalan yang benar, meninggalkan cara hidup yang menyimpang, dan rela menempatkan diri sebagai murid yang mau belajar tentang hidup yang benar dalam kesucian dan ketenangan. Sebagai gambaran buah-buah pekerjaan Guru Wirdjo (dibantu Guru Sojo Kertotenojo), pada tanggal 18 Oktober 1952, di Tlepok diadakanlah baptisan sebelas orang dewasa ditambah tiga anak-anak oleh Ds. L. Netelenbos, pendeta utusan Zending GKN untuk wilayah Purworejo.
Kebaktian Minggu yang dilayani Guru Wirdjo di Tlepok dengan cepat meningkat dihadiri oleh sekitar 75 pengunjung. Oleh karena itu, pepanthan kecil ini segera bangkit untuk membangun rumah ibadah secara gotong royong. Rumah ibadah ini terwujud pada tahun 1924 dan diresmikan pada 10 Maret 1925, dua tahun sejak kehadiran Guru Wirdjo. Satu tahun kemudian, tepatnya 24 Oktober 1926, pepanthan Tlepok mengadakan pemilihan Majelis Gereja, dan pada tanggal 19 Desember 1926 ditetapkan sebagai gereja dewasa kelima di wilayah Purworejo, sesudah Purworejo, Temon, Kesingi, dan Palihan. Setelah menyelesaikan pendidikan tambahan di Theologische Opleidingschool Yogyakarta, pada tanggal 10 Mei 1928, ia menghadapi ujian peremptoir, dan dinyatakan layak memangku jabatan sebagai Pendeta Jemaat. Beliau ditahbiskan oleh Ds. L. Netelenbos sebagai pendeta jemaat Gereja Tlepok pada 28 Mei 1928, bertepatan dengan Hari Pentakosta II, dengan kewenangan melayani orang Kristen Jawa maupun orang Kristen Belanda. Sampai dengan 31 Juni 1933, Gereja Tlepok memiliki warga gereja dewasa dan anak-anak sebanyak 97 jiwa, terdiri dari 30 warga laki-laki, 31 warga perempuan, serta 36 anak-anak.
Sebagai pendeta pertama di lingkungan Klasis Purworejo, sejak terbentuknya Sinode tahun 1931, Pdt. Wirdjotenojo senantiasa terpilih menjadi utusan Klasis Purworejo untuk menghadiri persidangan dan sering ditunjuk menjadi wakil Sinode, salah satunya menjadi wakil Zending Lampung.
Setelah cukup lama melayani di Gereja Tlepok, pada tanggal 21 September 1938, majelis Gereja Tlepok dengan dilandasi keluhuran sikap menyelenggarakan perpisahan dan pemberian surat lulusan kepada Pendeta Wirdjotenojo dan keluarga untuk menyatu dengan gereja baru yang dilayaninya, Gereja Kutoarjo.
Sebagai satu-satunya Pendeta Senior di kawasan Purworejo, ketika tentara pendudukan Jepang masuk dan menduduki nusantara, pada bulan Maret 1942, Pdt. Wirdjo ditunjuk oleh Sinode GKDTS untuk bersama-sama Pdt. R. Saptojo Joedokoesoemo dari Majelis Agung GKDW, melakukan kunjungan ke Gereja Margorejo yang menjadi bagian dari Patoenggilanipoen Pasamoewan Kristen Tata Indjil ing Wengkon Kaboepaten Koedoes, Pati, lan Djepara (hasil pekabaran Injil Zending Doopsgezinde Belanda (Gereja Injili di Tanah Jawa). Pdt. Wirdjotenojo juga pernah mengalami masa-masa sulit selama di penjara pada zaman pendudukan Jepang. Oleh karena tuduhan sebagai mata-mata pemerintah Belanda tidak terbukti, akhirnya ia dibebaskan dan kembali menggembalakan pasamuwan Kutoarjo.
Di awal-awal kemerdekaan tahun 1945-1946, ketika Sekolah Calon Pendhita Yogyakarta direncanakan untuk dibuka kembali bersama Pdt. Josaphat Darmohatmodjo yang kini melayani Gereja Gondokusuman, Pdt. Samidjo Wirdjotenojo ditetapkan oleh Sinode Geredja-Geredja Kristen Djawa Tengah Selatan (GKDTS) menjadi "tempat" para calon murid mempersiapkan diri.
<
Setelah melayani gereja Tuhan selama dua puluh tahun, pada bulan Juli 1948 Pdt. Wirdjotenojo memasuki masa emeritus, dan untuk seterusnya tugas pelayanannya di Kutoarjo digantikan oleh Pdt. Joram, menantunya. Pdt. Wirdjo memutuskan kembali ke Tlepok dan menjalani masa emeritusnya di sana. Walaupun sudah emeritus, Pdt. Wirdjotenojo tetap diminta sumbang sarannya dalam pelayanan gereja sampai beliau dipanggil Tuhan pada 20 November 1967, menyusul istrinya yaitu Ibu Mariana Wirdjotejo yang telah lebih dahulu dipanggil Tuhan pada 16 Maret 1963.
Diambil dan disunting dari: | ||
Nama situs | : | Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa |
Alamat URL | : | http://www.gkj.or.id |
Penulis artikel | : | Tidak dicantumkan |
Tanggal akses | : | 13 Mei 2013 |
- Login to post comments