Home » Sharing Pembina » Romansa dalam Media Hiburan
Klik x untuk menutup hasil pencarian. Cari di situs Remaja Kristen
Romansa dalam Media Hiburan
Untuk rileks dan beristirahat dari pekerjaan atau pendidikan, seringkali kita menoleh ke media hiburan, yang mungkin lebih mudah digapai ketimbang hobi atau aktivitas.
Tetapi sebelum kita memilih untuk mendengarkan lagu selama tiga menit, dua jam menonton film, atau sepuluh jam membaca novel yang populer, kita perlu merenungkan apa yang kita taruh dalam hati kita melalui mata dan telinga kita. Apakah pilihan hiburan kita dapat membantu kita untuk tetap murni, atau apakah akan mengotori air kehidupan kita?
Terjerat dalam Percintaan Fiksi
Dari film-film animasi anak-anak hingga drama-drama novel, percintaan ada di mana-mana. Film-film kartun mengajarkan anak-anak pra-sekolah bahwa pangeran dan putri bertemu, berciuman, menikah, dan hidup bahagia selama-lamanya. Buku-buku berorientasi remaja mengolah ulang tema-tema lama tentang cinta pertama dan cinta terlarang. Sementara itu lagu-lagu mendengung-dengungkan cinta atau cinta-cinta yang hilang.
Para produser media terus membuat produk-produk dengan tema cinta karena mereka tahu bahwa orang-orang secara alami menginginkan cinta dan bersedia membayar demi mengalami girangnya berada dalam percintaan.
Sayangnya, tanpa Tuhan, banyak produser salah mengartikan cinta sejati, dan pemikiran bahwa percintaan laku dijual dapat sangat melukai kesehatan dan hubungan rohani kita.
Apa saja bahaya-bahaya terjerat dalam percintaan fiksi? Bagaimanakah kita dapat melindungi diri dari kelemahan rohani karena terlalu banyak terpapar media hiburan percintaan?
Bahaya 1: Menyarukan Cinta dengan Hawa Nafsu
Alkitab menjelaskan bahwa arti cinta sejati, atau kasih sejati, adalah pengorbanan. Seperti pada 1 Yohanes tercatat:
"...sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita." (1 Yoh. 4:7-10)
Tetapi media terlalu sering menafsirkan hawa nafsu sebagai cinta kasih seperti yang dilakukan Sikhem. Ia adalah anak muda yang "jatuh cinta" pada Dina, anak perempuan Yakub. Namun untuk segera memuaskan hawa nafsunya, ia memperkosa Dina. Alkitab mencatat:
"Ketika itu terlihatlah ia oleh Sikhem, anak Hemor, orang Hewi, raja negeri itu, lalu Dina itu dilarikannya dan diperkosanya. Tetapi terikatlah hatinya kepada Dina, anak Yakub; ia cinta kepada gadis itu, lalu menenangkan hati gadis itu." (Kej. 34:2,3)
Apakah Sikhem benar-benar mencintai Dina? Menurut definisi Tuhan mengenai cinta sejati, tidak. Bukannya pengorbanan, cinta Sikhem berpusat pada egoisme dan keinginan hawa nafsu yang mengabaikan keinginan dan kemurnian Dina.
Cerita-cerita cinta biasanya tidak mengandung kekerasan, tetapi seringkali mendorong kita untuk mengingini, memandangnya sebagai obyek, dan mengejar lawan jenis dengan cara hawa nafsu yang sama seperti Sikhem. Mereka mengabarkan pemuasan hawa nafsu secara cepat melalui gairah pengejaran (rayu dan lirikan, bunga, makan malam dengan lilin) dan keintiman fisik (berciuman, berpelukan, dan kontak seksual).
Berciuman dipandang sebagai perbuatan yang tidak bersalah, hilangnya keperawanan disarukan sebagai sesuatu yang harus dilalui, dan percabulan dibenarkan sebagai perwujudan cinta, dan perzinahan diperbolehkan apabila seseorang tidak mendapatkan cinta dari pernikahan.
Pendeknya, media percintaan modern mempromosikan hawa nafsu yang tidak dipagari, tidak ditahan oleh kemurnian, kesabaran, komitmen, atau takut akan Tuhan.
Apabila kita menemukan diri kita berakar pada perbuatan-perbuatan amoral dari para aktor dan aktris favorit kita; apabila kita mulai menikmati pemandangan dan suara-suara perbuatan yang tidak patut di mata Tuhan; apabila kita menemukan diri kita dibawa lebih dekat dalam hawa nafsu yang menyaru sebagai cinta, mungkin kita perlu memikirkan ulang apa yang sedang kita pelihara dalam hati kita. Mari kita mengingat kembali bahwa hawa nafsu yang tak terkendali berujung pada maut.
"Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut." (Yak. 1:14,15)
Sebagai orang Kristen, kita tidak boleh menyarukan cinta dengan hawa nafsu, karena kita kudus bagi Tuhan.
"Tetapi percabulan dan rupa-rupa kecemaran atau keserakahan disebut sajapun jangan di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus." (Ef. 5:3)
Bahaya 2: Menyerongkan yang Belum Menikah dari Tuhan
Masa lajang seringkali merupakan masa terbaik untuk melayani Tuhan, karen merupakan masa yang cukup bebas dari tanggung jawab keluarga. Itu sebabnya Paulus mengajarkan kita:
"Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya." (1 Kor. 7:32-34)
Sayangnya, orang-orang Kristen yang belum menikah seringkali terganggu oleh ide-ide cinta yang sekular. Mengonsumsi terlalu banyak cinta dapat membangkitkan cinta sebelum waktunya (Kid. 2:7) dan berusaha menyenangkan pernikahan yang kudus.
Bukannya melakukan segala upaya dan tenaga bagi Tuhan, menghabiskan waktu mengejar pangeran di atas kuda putih atau gadis cantik yang dapat memenuhi keinginan hawa nafsu kita. Kadang-kadang kita terlalu kuatir dengan berusaha menemukan seseorang yang sempurna, sehingga kita kehilangan fokus pada Tuhan dan damai sejahtera. Seperti yang dijelaskan Yakobus,
"Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu? Kamu mengingini sesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi. Kamu tidak memperoleh apa-apa, karena kamu tidak berdoa. Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu." (Yak. 4:1-3)
Apabila kita sedang terjerat dalam hal-hal ini, mari kita berdiri dan menolak pesan media bahwa kita perlu menemukan seserang untuk "menyempurnakan kita", dan sebaliknya, berusaha menjadi sempurna dan penuh dalam Tuhan (Yak. 1:4). Mari kita berpegang teguh dalam janji bahwa apabila kita mencari dahulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya", Ia akan memenuhi segala kebutuhan kita (Mat. 6:33)
Bahaya 3: Membentuk Harapan yang tak Realistis dalam Pernikahan
Bahaya lain dalam percintaan di media adalah membentuk harapan yang tidak realistis dari pasangan atau calon pasangan kita.
Dalam percintaan, pria biasanya tampan, kekar, berpakaian penuh gaya, menawan, dan memperhatikan segala keinginan pasangannya. Sementara itu si wanita mempunyai penampilan yang menarik, gaun yang menawan, wajah bak dewi dari surga. Mereka hampir-hampir tidak pernah mengalami kesulitan keuangan, dan biasanya tempat tinggal mereka bersih dan nyaman.
Apabila orang memasukkan ciri-ciri ini mengenai suami istri yang sempurna, mereka mungkin akan kecewa dengan ketidaksejajaran antara khayalan dengan kenyataan.
Untuk melawan ide media tentang pengharapan pernikahan, mari kita berfokus pada tanggung jawab kita pada pasangan hidup yang dijelaskan dalam Alkitab:
"Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya. Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya." (Ef. 5:22-25, 33)
Lebih penting lagi, marilah kita mengingat bahwa berlawanan dengan apa yang dikatakan media, tujuan hidup kita di bumi bukanlah sekadar menemukan cinta atau pemenuhan. Alkitab mengajarkan,
"Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya." (Kol. 3:23,24)
Meninggalkan Zona Bahaya
Apabila kita senantiasa menikmati media-media bertema cinta (film, drama televisi, musik, novel, dsb), mari kita menanyakan diri sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:
- Apakah saya menemukan diri sendiri hidup dalam ilusi percintaan karakter yang fiksi?
- Apakah konsumsi media menyebabkan saya mengingini lawan jenis dalam cara-cara yang tidak menyenangkan Tuhan?
- Apakah saya kesulitan dalam menjauhi media-media hiburan bertema percintaan?
- Apakah saya mengkhayalkan karakter-karakter fiksi dan melihat mereka sebagai pasangan yang ideal?
- Apakah pilihan-pilihan media hiburan menyebabkan saya menaruh pengharapan yang tidak realistis pada pasangan atau calon pasangan saya?
Apabila kita menjawab "ya" pada salah satu pertanyaan di atas, mungkin kita sudah terlanjur jatuh dalam jerat percintaan yang fiksi. Lalu, apakah yang dapat kita lakukan?
Tindakan 1: Mengurangi Konsumsi Media Hiburan Percintaan
Apabila media-media hiburan bertema percintaan menyebabkan kita menjauhi pengajaran Tuhan, tindakan yang harus segera kita ambil adalah dengan melakukan pengendalian diri dan mengurangi konsumsi media-media ini. Sulit memang untuk mengurangi atau bahkan melepaskan sesuatu yang sangat kita nikmati, tetapi kita harus ingat bahwa kita senantiasa berada dalam peperangan rohani (Ef. 6:12).
Untuk melawan agar tidak ditelan oleh Iblis, kita harus waspada dan siaga (1 Ptr. 5:8). Kita harus menjadi seperti Paulus, yang mengajarkan,
"Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak." (1 Kor. 9:27)
Tindakan 2: Menggantikan Konsumsi Media dengan Aktivitas-Aktivitas yang Lebih Bermanfaat
Apabila kita bertekad untuk mengurangi konsumsi media, kita juga harus melakukan perencanaan untuk menggantikannya dengan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi kerohanian kita. Kalau tidak, kita akan merasa bosan, gusar, dan tergoda untuk kembali kepada media-media itu.
>Ada banyak variasi aktivitas yang memungkinkan kita untuk "perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada..." (Ef. 5:15, 16). Kita tinggal berpikir lebih kreatif.
Ketimbang menikmati media-media percintaan, kita dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga bermanfaat dalam pelayanan kita kepada Tuhan.
Kita dapat menguatkan jasmani kita melalui olahraga, mempelajari talenta-talenta baru (seperti memasak, memainkan musik, belajar bahasa yang baru, keterampilan tangan, menulis, membuat karya seni, belajar komputer, berorganisasi, membersihkan rumah, memperbaiki barang rusak, dan masih banyak lagi), atau menolong orang-orang yang membutuhkan (menyemangati saudara seiman, mengirim bantuan, mengajukan diri sebagai sukarelawan, dsb).
Saat memilih aktivitas-aktivitas pengganti ini, mari kita mengingat dorongan Paulus mengenai apa yang harus kita isi dalam pikiran kita:
"Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu" (Flp. 4:8).
Tindakan 3: Memperbarui Komitmen Kita untuk Tetap Kudus dan Murni
Dan yang terpenting, sembari kita melarikan diri dari jeratan media percintaan, kita harus berdoa kepada Tuhan dan memperbarui komitmen kita untuk hidup kudus dan murni.
Allah itu kudus dan menghendaki kita kudus (1 Ptr. 1:13-16). Ia juga mengetahui segala pergumulan kita, karena Ia juga menghadapi cobaan seperti kita (Ibr. 4:15). Apabila kita datang kepada-Nya dan meminta pertolongan, Ia akan menolong kita untuk mengalahkan cobaan-cobaan kita.
Seperti yang diajarkan oleh Yakobus,
"Karena itu tunduklah kepada Allah, dan lawanlah Iblis, maka ia akan lari dari padamu! Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu. Tahirkanlah tanganmu, hai kamu orang-orang berdosa! dan sucikanlah hatimu, hai kamu yang mendua hati!" (Yak. 4:7,8)
Mari kita dengan jujur mengevaluasi hubungan kita dengan media percintaan. Apabila perlu, mari kita berketetapan untuk membebaskan diri dari pengaruh-pengaruhnya. Mari kita memohon tuntunan Tuhan agar kita dapat mengisi waktu kita yang berharga di bumi dan hidup layak di mata Tuhan.
Diambil dari:
Judul majalah | : | Warta Sejati, Edisi 82, Oktober-Desember 2014 |
Penulis artikel | : | Rebecca Yuan |
Halaman | : | 40-47 |
- Login to post comments