Home » Review Film » Garuda di Dada King
Klik x untuk menutup hasil pencarian. Cari di situs Remaja Kristen
Garuda di Dada King
Penulis : arie_saptaji
Liburan sekolah yang langka. Dua film keluarga menunggu di bioskop. Dua-duanya debut karya panjang masing-masing sutradaranya. Dan, dua-duanya mengesankan. Maka, petang yang indah itu aku dan kawanku menyempatkan nonton keduanya sambung-menyambung…
GARUDA DI DADAKU (Ifa Isfansyah, 2009)
Aku bukan penggemar bola, hanya sesekali melirik berita atau ulasannya di koran, tapi ‘Garuda di Dadaku’ sukses menyedot emosi: haru campur gembira. Kalau dibuat sinopsis, ceritanya bakal kedengaran biasa banget, malah agak melodramatis ala sinetron itu. Pokoknya, ini cerita tentang Bayu (Emir Mahira) yang pengin ikut seleksi Tim Nasional Usia 13, tapi dihalangi kakek (Ikranegara) yang punya ambisi lain buat cucunya itu, tapi si Bayu terus didukung kawan-kawan dan kemudian ibunya (Maudy Koesnaedi) juga untuk menggapai cita-cita itu. Bisa ketebak kan kira-kira ke mana liukan ceritanya? Tapi, tunggu dulu. Di titian cerita yang kedengaran biasa itu, skenario Salman Aristo memunculkan tokoh-tokoh yang unik, dialog-dialog yang bikin gregetan, dan kesejajaran antara upaya Bayu cs untuk mengelabui kakek dan upaya kakek membebani si cucu dengan kursus-kursus yang moga-moga penting untuk masa depannya terasa seperti konflik yang dipanaskan pelan-pelan sampai mendidih.
Tokoh uniknya aku pilih Heri (Aldo Tanzani). Bocah yang duduk di kursi roda, tapi tidak lantas bertampang sinetron-betapa-malangnya-daku-kasihanilah-diriku, malah begitu makantar-kantar penuh semangat mengompori kawan bak motivator profesional. Kaya, anak tunggal, bapaknya lagi di luar negeri, tapi santai aja bergaul dengan supir kesayangan dan merangkul kawan yang nggak level secara sosio-ekonomis (ah, jadi terkenang Langitku Rumahku), tidak dibuat sok congkak sok pongah. Mungkin omongannya kedengaran sedikit keminter, tapi sekarang ini kayaknya rada banyak anak yang terlalu cepat dewasa, ya? Begitulah, sosok Heri cukup nyempal dari stereotipe.
Asyik juga Bang Dulloh (Ramzi). Di tivi aku ogah melirik Ramzi, tapi di film ini, hoi, betapa segar dan kocak setiap adegan yang menongolkan dirinya. “Betah banget!” begitu enaknya dia menjawab si bos yang menunda pulang dari luar negeri. “Dia punya kenalan baru. Anak penjaga kuburan. Mau pesan?” katanya pada pembantu lain ketika mendengar Heri menyebut nama Zahra. Ramzi tampil pas, tidak sok bloon, tidak pula overacting, layaknya pembantu yang sudah dianggap keluarga oleh majikannya. Bang Dulloh pula yang memborong sebagian besar kalimat-kalimat bikin gemes seperti dikutip sebagian itu.
Belum lagi Zahra (Marsha Aruan) yang hapal nama dan “perilaku” para almarhum dan almarhumah di kuburan. Tanya saja padanya tentang Bu Nunung!
Hehe, Bayunya lalu seperti “tenggelam” dikerubuti tokoh-tokoh itu. Tapi, tidak. Sekali lagi, aku bukan penggemar bola, tapi betapa riang Bayu menggocek bola di lorong-lorong sempit kampungnya atau bermanuver di antara nisan-nisan kuburan. Ia terbata-bata berusaha menyenangkan kakeknya sambil mengendap-endap mengejar kesukaannya, membujuk ibunya, meledek Heri dan Zahra (“Cieeee…!”), menangkis Bang Dulloh, atau meringis nakal saat sengaja menggebuk drum asal pukul.
Intinya: interaksi antartokoh berlangsung luwes dan wajar, dengan tarik ulur yang dinamis antara keriangan, ketegangan, dan kesenduan. Itu ditampilkan di sudut Jakarta yang membumi---maksudnya bila dibandingkan dengan Jakarta nan mewah di sinetron itu---sekaligus menyentil tata kotanya: lapangan rumput malah dipagari dan digembok sehingga anak-anak bermain bola di atap gedung. Lapangan rumput lainnya, dijadikan sarang preman, membuat Bang Dulloh salah tingkah. Terpaksalah Bayu berlatih di kuburan. Dan, adegan pertemuan dengan Zahra di kuburan… lebih horor dari pilem horor! Sungguh!
Kekurangan yang kurasa menonjol: klimaksnya kurang megah. Kurang menyemburatkan kegagahan kemenangan Bayu. Catatan kecil, sudah berusaha kupelototi kreditnya, tapi ”Apuse” tidak disebut sebagai lagu yang liriknya diganti jadi ”Garuda di dadaku, garuda kebanggaanku” itu. Semoga aku salah lihat.
Oya, di Jogja, Garuda mencatat prestasi istimewa. Saat rilis 18 Juni, film ini diputar di satu studio 21. Esoknya, langsung bertambah satu studio. Senin (22/6), eh, merangsek ke XXI, nambah satu studio lagi. Semalam (30/6) memang jadi dua studio lagi, tapi penonton masih ¾ penuh.
KING (Ari Sihasale, 2009)
Kalau Garuda bernuansa riang, King bernuansa teduh. Warna teduh ini menyemburat dari latar tempat yang tampaknya bakal terus menjadi trademark Alenia Pictures. Setelah menyuguhkan panorama elok Papua (aku melewatkan liburan ke Ambarawa), kini AP mewartakan pesona Kawah Ijen di Taman Nasional Baluran, Banyuwangi, dan kawasan sekitarnya. Dari air danau yang hijau toska, hutan dan bentang desa yang sesekali tersaput kabut, sampai kawanan kijang cokelat yang berhamburan di padang rumput.
Ceritanya sendiri tentang Guntur (Rangga Aditya), anak desa jago bulutangkis yang ingin mengikuti jejak idolanya: Liem Swie King. Tedjo (diperankan tanpa nyengir oleh Mamiek Prakoso), ayahnya, komentator lokal dan pengumpul bulu angsa, sangat mendukungnya, dengan menghukumnya secara berlebihan karena menganggapnya belum bermain semaksimal mungkin. Sebuah hubungan ayah-anak khas Jawa (atau Indonesia, kata kawanku): sang ayah gagap mengungkapkan cintanya secara verbal terbuka, memakai cara sembunyi-sembunyi, dan lebih mengedepankan disiplin, jadilah si anak salah paham. Lalu, Raden (Lucky Martin), kawan akrabnya, mendukungnya lewat cara yang lain lagi: melalui akal-akalan yang kebanyakan berujung masalah.
Ini juga cerita tentang sebuah desa yang sangat guyub. Kecuali nenek Raden yang melarang keras cucunya bersentuhan dengan badminton, segenap warga “sebangsa dan sedesa” tergila-gila pada olah raga tepok bulu itu. Dari Mas Raino lajang bijak, Bang Bujang onde mande, Kang Untung penjaga surau, Wo Jarkowi penjaja balon, sampai Pak Lurah yang nyengkuyung perjuangan Guntur. Akting kelompok yang rancak sukses menampilkan sebuah desa yang kalau zaman Orba dulu akan disebut sebagai Desa Pelopor P4. Pertandingan badminton di lapangan desa menjadi ajang kumpul penuh sorak sorai. Begitu juga acara nonton bareng siaran langsung di tivi. Pertanyaan: Betulkah di desa itu cuma ada sebiji tivi berwarna? Atau, warga desa lebih suka kumpul rame-rame sambil menyimak komentar Tedjo yang gegap gempita? Ah, romantisme kehidupan desa---masihkah tersua sampai sekarang?
Aku menangkap, dengan keelokan latar dan keguyuban tadi Ari Sihasale mencoba menghidupkan Indonesia mini. Di antara warga desa itu muncul Bang Bujang, pemilik satu-satunya kendaraan di desa, yang gemar mendendangkan lagu-lagu Minang. Atau, adegan kecil ini, yang sukses membikin seisi bioskop meledak: Seorang tukas pos membuka helm, tampaklah wajah yang sangat pace Papua, tapi ketika ia bertanya, ”Iki omahe Guntur?” wadooh, aksennya begitu Jowu bin Jawir! Selebihnya, ke-Indonesiaan diwakili oleh bulutangkis: ya, olahraga yang pernah sangat mengharumkan nama negeri ini ditampilkan dalam sudut-sudut pengambilan gambar yang menawan. Maka, ketika Guntur memandangi Hall of Fame para pahlawan bulutangkis, ditingkahi musik latar bertalu-talu garapan Aksan dan Titi Sjuman (musik mereka di film ini lebih rancak daripada di Garuda), sebuah pertanyaan mengusik: kapan kejayaan dan kebanggaan itu terukir kembali? Di tengah situasi dalam negeri yang melelahkan, dan lecehan beruntun dari negara sebelah, pertanyaan itu terasa menyayat.
Paduan keindahan itu membuat sejumlah lubang kecil termaafkan. Keakraban Guntur dan Raden dengan Michele, misalnya, terasa terlalu cepat terjalin. Konflik mereka bertiga saat menunggu surat dari Kudus rasanya agak dipaksakan meski nantinya berfungsi untuk sebuah kekocakan yang berpotensi sebagai klimaks. Selain itu, berbeda dengan Noel dan Enos dalam Denias, Ari tidak menemukan bakat-bakat lokal sehingga pemain-pemain utama diimpor dari ibukota. Lucky Martin kurang larut sebagai bocah ndeso, ia terdengar tidak bisa melafalkan ’dh’ dengan baik dan benar. Lalu, seperti Denias yang mestinya berakhir ketika Enos mengacungkan buku rapornya, alangkah sedapnya bila film ini disudahi dengan shot nongolnya Raden di bak belakang colt. Secara emosional, perjumpaan dengan sang idola tidak lagi terasa sebagai klimaks, hanya sekadar epilog.
Ketika mengulas Denias: Senandung di Atas Awan, aku menutup dengan harapan, ”Alangkah indahnya bila para produser sudi repot-repot menempuh ‘jalan yang benar’.” Dengan King, Alenia Pictures kembali menempuhnya. Dengan smash yang mantap! ***
- Login to post comments