Klik x untuk menutup hasil pencarian. Cari di situs Remaja Kristen
Cintailah Kawan dan Musuhmu
"Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikian kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain?" (Matius 5:43-47)
Sekali lagi, Yesus mengambil sikap yang sangat menantang. Di antara beberapa inti pesan-Nya berupa cinta, Dia mengajarkan bahwa kita harus menawarkan hadiah berharga bagi setiap orang, bahkan kepada orang-orang yang tidak terbayangkan untuk kita cintai. Di sini, Yesus berkhotbah tentang pelajaran serius mengenai cinta, yaitu dalam perbedaan nyata bahwa cinta disuguhkan dengan cara yang sembrono dalam kebudayaan kita. Cinta pun sangat sering dipandang sebagai "komoditas sehari-hari" yang bisa ditukar dan digunakan dalam mengejar banyak keinginan dan kesenangan kita.
Gagasan ini dikarikaturkan oleh iklan bir terkenal yang menceritakan seseorang laki-laki yang menginginkan merek bir tersebut di atas segala-galanya. Dia mencoba sejumlah strategi untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, hingga ketika semuanya gagal, dia berhenti pada kata-kata terakhir. Dengan emosi berlebihan, dia hanya berkata, "Saya mencintaimu." Beberapa iklan komersial terlihat merusak hubungan positif di antara anggota masyarakat. Saya percaya reaksi ini menunjukkan bahwa bagi kita, cinta telah menjadi sesuatu yang teramat sering digunakan untuk menerima pamrih pada kemudian hari. Iklan tersebut sukses dan terkesan lucu dari perilaku nonverbal yang ditunjukkan oleh aktor pencari bir itu. Bagaimanapun juga, kata-kata yang digunakannya adalah satu di antara kata-kata yang paling ampuh dan banyak didengar di antara kita, yaitu, "Aku cinta kamu." Mungkin, penggunaan kata-kata ampuh itu adalah sesuatu yang keluar dari mulut seseorang secara wajar, seperti iklan bir yang menciptakan perbedaan yang teramat tajam, sehingga sangat sulit untuk tidak menertawakannya.
Dalam pelajaran ini, Yesus menantang kita untuk menghadapi kontradiksi yang lebih dramatis. Dia mengarahkan kita untuk mencintai tidak hanya teman dan tetangga kita, tetapi juga musuh-musuh kita. Mungkin jika Dia menggunakan kata toleransi atau bahkan meminta kita untuk "menyukai" musuh kita, maka hal itu tidak akan sulit dilakukan. Namun, Dia mengatakan, jika kita hanya mencintai orang yang menjamu kita dengan baik, kita tidak akan lebih baik daripada pemungut cukai (sebuah kelompok yang pada masa Yesus merupakan kelompok paling hina).
Mengapa Yesus memerintahkan kita untuk melakukan tindakan yang tampaknya tidak biasa dan hampir tidak mungkin untuk dilakukan? Beberapa orang mungkin dapat memaksakan diri mereka mengorbankan sesuatu untuk orang yang mereka kasihi, tetapi mengorbankan sesuatu untuk musuh tampaknya mustahil. Bagaimanapun juga, Yesus menawarkan beberapa petunjuk mengapa hal-hal ini penting walaupun terkesan sebagai suatu pencarian tujuan yang aneh. Ada sebuah nasihat yang memancarkan cahaya dalam pelajaran menantang ini. Dia berkata:
"Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. Aku berkata kepadamu: sesungguhnya engkau tidak akan dapat keluar dari sana, sebelum engkau membayar utangmu sampai lunas." (Matius 5:25-26)
Ironisnya, ajaran Yesus ini sering kali pada akhirnya menguntungkan kita, walaupun pada awalnya sepertinya menguntungkan pihak musuh. Dalam kasus ini, Dia mengajarkan bahwa kita harus berdamai dengan musuh kita sehingga mereka tidak akan menyerang kita pada kemudian hari. Nasihat-Nya ini sangat jelas dan masuk akal.
Seorang rekan konsultan saya mempelajari ajaran ini ketika dia membimbing sebuah perusahaan untuk mengubah operasi pergudangannya dari struktur manajemen tradisional menuju tim kerja yang berdaya guna. Awalnya, beberapa manajer merasa terancam dengan adanya perubahan itu dan menolak usulan sang konsultan. Seorang manajer dengan terang-terangan bersikap kasar. Dia percaya bahwa sistem yang baru akan mengancam posisinya di dalam perusahaan sehingga dia akan kehilangan pekerjaannya. Akibatnya, dia menentang keras rencana perubahan itu, bahkan berkonfrontasi dengan konsultan itu. Ketika perubahan itu disetujui oleh manajemen yang lebih tinggi, manajer itu bereaksi dan melempar pemantik apinya di ruangan.
Bisa saja konsultan itu punya alasan jelas untuk tidak menyukai manajer yang satu itu dan berharap dia akan dikeluarkan dari perusahaan. Namun, dia justru mencoba untuk meyakinkan kembali manajer itu dengan memberitahukan kepadanya bagaimana sistem itu akan menguntungkan dia. Dia berusaha memisahkan manajer itu dari atasannya dan memastikan bahwa sistem yang baru tidak akan mengancam pekerjaannya. Manajer itu pun bergabung lagi. Dia menjadi pendukung kuat dari sistem itu dan memberi beberapa kontribusi untuk membantu kesuksesan tim. Dia menjadi instrumen penting dalam membantu pengembangan bahasa baru untuk peraturan baru, yaitu sebagai fasilitator. Untuk ini, dia mendapat julukan "Wordman" dari rekan-rekannya. Dia juga minta maaf atas sikapnya sebelumnya kepada konsultan itu di hadapan rekan-rekannya. Dia berubah dari seorang musuh menjadi sekutu yang kuat bagi konsultan itu.
Masih banyak lagi yang dapat dipetik dari pelajaran ini selain panggilan untuk membangun hubungan eksternal dengan orang-orang yang memiliki perilaku menyulitkan. Kenyataannya, bentuk hubungan itu, di mana kita sering mengubahnya menjadi musuh terburuk, merupakan pengalaman yang biasa terjadi dan telah memberi kontribusi pada kebijakan konvensional. Jika kita memusatkan perhatian pada pertengkaran, bahkan pada kebencian dan hal-hal lain yang menjadi masalah kita, maka kita menciptakan masalah serius pada kesehatan kita sendiri serta pada proses menjadi orang yang baik dan berkualitas. Telah terbukti jelas bahwa hubungan yang saling mendukung dan mencintai amat penting untuk kesehatan mental dan fisik kita. Bahkan, memberi dan memperoleh afeksi dari binatang piaraan dapat memberi manfaat yang besar. Jelasnya, sering bertengkar dengan orang lain bertentangan langsung dengan tujuan pengetahuan ini, yang menganjurkan kita menjaga sikap demi kebaikan kita sendiri. Selain itu, manakala kita membalas perlakuan buruk orang lain, kita sebenarnya menjadi semakin erat terikat dengan mereka. Frustrasi dan dendam akan cenderung membusuk jika kita bersikeras mengingat-ingat kesalahan yang dilakukan orang pada masa lalu.
Hal ini tidak berarti kita membiarkan orang lain menyiksa kita, melainkan kita membiarkan masa lalu berlalu. Menyimpan dendam akan menggerogoti batin kita dan membuat kita tetap berfokus pada orang yang ingin kita lupakan. Kita cenderung asyik dengan pemikiran atas besarnya pengaruh orang lain pada diri kita. Akibatnya, orang-orang itu cenderung menjadi pusat kehidupan mental kita. Ironisnya, orang yang sangat tidak kita inginkan memunyai hubungan dengan kita justru menghantui pikiran, menjadi fokus kita lebih daripada orang-orang yang sungguh-sungguh kita cintai. Masuk akal jika kita akhirnya menjadi musuh yang menyakiti diri kita sendiri. Pikiran negatif menyerang dari dalam diri kita sendiri.
Kebalikannya, dengan belajar mencintai walaupun orang itu adalah musuh kita, kita tidak saja dibebaskan dari keterikatan pada objek kefrustrasian yang ada dalam diri kita, tetapi juga dimampukan untuk menciptakan satu lagi sumber dukungan positif dan kebahagiaan dalam hidup kita. Intinya, dengan mengekspresikan cinta pada musuh-musuh kita, maka kita menciptakan kondisi yang dapat mengubah musuh menjadi teman. Hal ini tampak sebagai tindakan yang penuh kekuatan dari mencintai diri kita sendiri. Tema umum buku ini adalah bagaimana kita dapat memberdayakan orang lain untuk memimpin diri mereka sendiri. Dengan adanya kesabaran dan penghiburan untuk menolong orang yang sulit berkembang padahal mereka mampu untuk itu, kita melayani diri kita sebaik orang-orang yang kita bantu untuk lebih berdaya.
Saya sering kali menikmati manfaat dari pendekatan yang bijaksana ini. Selama hidup saya, ada saat-saat ketika saya diingatkan tentang atasan yang baru maupun yang sekarang, rekan, bawahan, pelanggan, atau para mahasiswa. Di lain waktu, saya melihat perilaku sinis atau sikap menjengkelkan dari orang-orang yang berinteraksi dengan saya. Sering kali, jika saya menolak orang-orang ini dan menghindari mereka, bukannya berusaha membangun pikiran positif dan hubungan yang saling mendukung, ternyata hasilnya mengejutkan saya. Banyak pengalaman berelasi terbaik saya berasal dari usaha membangun hubungan persahabatan dan rekanan dengan orang-orang yang semula saya pikir adalah orang-orang yang menyulitkan. Sekarang, jika saya diberi peringatan untuk menghindari seseorang, saya malah menjadi lebih ingin mengenal dia. Saya mengira-ngira, apakah ini akan menjadi sebuah kesempatan untuk menolong seseorang dan diri saya sendiri untuk memiliki pengalaman pribadi yang positif. Saya juga berharap orang lain akan melakukan seperti apa yang saya lakukan jika suatu saat saya bertingkah menjengkelkan.
Dunia berisikan bermacam-macam orang. Ada beberapa orang yang bentuk keterikatannya berupa pertentangan dengan kita, yang memiliki nilai-nilai motivasi-motivasi dan tujuan-tujuan konflik. Namun bagaimanapun juga, mereka adalah bagian nyata dari dunia kita. Pernah suatu kali saya dinasihati agar kita mencari orang-orang yang tidak kita sukai karena mereka bisa mengungkapkan sesuatu dalam diri kita. Mereka bisa mencerminkan hidup kita, memantulkan beberapa aspek diri kita yang tidak kita sukai atau yang membuat kita merasa tidak nyaman. Akibatnya, dengan semangat belajar yang tinggi, saya bertemu dengan orang-orang yang membuat saya merasa tidak nyaman. Kami berjanji bertemu pada saat makan siang atau berbincang-bincang. Saya menemukan bahwa kegiatan ini bernilai tinggi dan telah mencerahkan saya. Akhirnya, saya sering kali tidak berhenti bertemu dengan orang-orang seperti ini.
Dengan mencari dasar yang sama dengan orang-orang yang bekerja dan hidup bersama dengan kita, kita membantu diri sendiri untuk membangun kehidupan yang lebih baik dalam pekerjaan dan hidup sehari-hari. Biasanya, jika kita membantu orang lain untuk menemukan diri mereka, membuat mereka menjadi tidak lagi begitu frustrasi dan lebih memiliki makna dalam hidup mereka, maka mereka akan dengan mudah menemukan pemberdayaan diri yang mereka butuhkan untuk menjadi orang yang lebih baik. Kita juga dapat menemukan bahwa kita lebih sering memusuhi mereka dibanding yang mereka lakukan terhadap kita.
Yesus mencoba mengajarkan pada kita bahwa ketika kita mencintai orang lain, khususnya orang yang kita benci, sama seperti kita juga mencintai diri kita. Bagi para pemimpin yang ingin memengaruhi secara positif semua orang yang bekerja bersama dengannya, gagasan tentang cinta adalah sumber kekuatan dari kebijaksanaan. Pertanyaan seperti, "Apakah kepemimpinan saya dalam situasi ini konsisten dengan gagasan mengungkapkan cinta sejati yang sangat besar manfaatnya bagi orang-orang yang saya pimpin?" mungkin saja merupakan bimbingan utama untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Hal ini sungguh benar khususnya ketika kita memimpin orang yang tidak kita sukai. Akhirnya, kepemimpinan yang bijaksana membimbing kita untuk mendapatkan manfaat bagi diri kita sendiri.