Home » Media & Teknologi » Orang Muda dan Media Sosial: Pembentukan Iman yang Terintegrasi secara Digital
Klik x untuk menutup hasil pencarian. Cari di situs Remaja Kristen
Orang Muda dan Media Sosial: Pembentukan Iman yang Terintegrasi secara Digital
Putra saya yang berumur sembilan tahun sedang belajar memainkan clarinet. Berdoalah bagi saya.
Finn sedang duduk di bangku kelas empat Sekolah Dasar dan baru saja bergabung dengan band sekolahnya. Selain latihan band di sekolah pada Kamis pagi, dia secara rutin berlatih di rumah pada sore hari. Bahkan, ketika saya menulis ini, dia sedang berlatih memainkan lagu Hot Cross Buns. Hei, itu adalah lagu rohani, bukan?
Salah satu perbedaan yang saya perhatikan dari masa-masa saya bergabung dengan band sekolah (saya memainkan trombone — dengan buruk) adalah setiap tugas latihan anak saya dilengkapi dengan video-video dari YouTube. Setelah dia memasang clarinetnya, Finn membuka situs web gurunya, yang memiliki tautan ke berbagai video untuk instrumen musik dan tingkat pengalaman musik yang berbeda, dan kemudian menemukan bagiannya.
Sekarang ini, selagi saya menulis, salah satu dari video-video tersebut membawanya melalui serentetan latihan pernapasan. Ketika video dimainkan, dia berbaring telentang di atas sofa, berlatih menarik napas melalui diafragmanya, dan kemudian melepaskannya melalui mulutnya dengan menggunakan latihan artikulasi bibir yang terdengar seperti dia sedang meniup buah raspberry. Pada akhirnya, semua suara kasar anak laki-laki yang dia buat selama bertahun-tahun itu terbayar.
Saya melihat pendekatan yang terintegrasi secara digital semacam ini dalam seluruh tugas sekolah anak-anak saya. Pada tahun ini, putri saya, yang duduk di bangku kelas tujuh, menerima sebuah Chromebook dasar melalui distrik sekolah kami, dan seluruh kelasnya memiliki komponen daring melalui Google Classroom, sebuah platform pembelajaran digital. Di Google Classroom, dia bisa melihat materi pelajaran, mengikuti tautan menuju materi pelajaran daring pendukung, dan menyelesaikan tugas-tugas, semuanya secara daring. Bahkan, kedua anak kembar saya, yang masih duduk di bangku kelas satu, melakukan daring untuk belajar melalui permainan-permainan edukasional yang direkomendasikan oleh guru-guru mereka.
Meski saya hanya memiliki satu mata kuliah daring sepanjang masa saya bersekolah, kuliah, dan menjalani pendidikan pascasarjana, anak-anak saya bertumbuh dewasa dengan teknologi dan pembelajaran daring sebagai komponen integral terhadap pendidikan mereka. Belakangan ini, semakin langka menemukan seseorang yang tidak pernah punya kelas daring atau yang tidak pernah pergi ke internet untuk memajukan pendidikan atau pemahaman mereka, bahkan hanya untuk menyelesaikan perdebatan antara teman tentang siapa pemukul terhebat sepanjang masa. Hal semacam itu adalah lingkungan pendidikan yang terintegrasi secara digital pada masa-masa awal abad ke-21 ini. Akan tetapi, hal itu adalah peralihan yang belum menjangkau kebanyakan jemaat kita.
Bagaimana teknologi-teknologi digital ini membentuk ulang cara kita belajar, dan barangkali bahkan membentuk iman? Sebagai orangtua, guru, dan pendeta, saya memperhatikan empat hal di bawah ini.
1. Belajar adalah hal yang berdasarkan permintaan. Kita telah terbiasa memiliki informasi dan jawaban di ujung jari-jemari kita kapan pun kita memerlukannya. Kita membuka YouTube ketika kita perlu untuk mengetahui cara membuka saluran pembuangan air yang tersumbat, cara memperbaiki alat pengering, mengatasi masalah-masalah komputer, atau mengerti kejadian-kejadian di dunia dengan lebih baik. Seperti pepatah Kung-Fu tua mengatakan, "Ketika seorang murid sudah siap, seorang guru akan muncul". Belakangan ini, guru tersebut muncul lebih sering di ponsel pintar kita.
2. Itu tersedia sepanjang waktu. Pembelajaran terjadi secara terus-menerus dalam dunia yang terintegrasi secara digital. Seluruh kelas anak-anak kita memiliki situs web yang bisa mereka akses kapan saja. Situs-situs web ini punya berbagai tautan kepada aktivitas-aktivitas dan permainan-permainan edukasional, dan mereka bisa mengakses materi-materi tersebut kapan saja mereka mau. Bahkan, ketika sekolah libur, ruang kelas digital tidak pernah tutup.
3. Itu bersifat portabel. Kita bisa membawa seluruh materi ini bersama-sama dengan kita dalam peranti-peranti digital kita. Hal ini tidak berarti kita perlu meninggalkan pembelajaran tatap muka. Pembelajaran terbaik adalah bersifat relasional, dan tidak ada yang dapat menggantikan keterlibatan secara tatap muka. Itu, dan makanan-makanan ringan di kelas konfirmasi. Hmm, makanan ringan. Akan tetapi, di sela pertemuan-pertemuan secara tatap muka, atau ketika pertemuan secara tatap muka tidak dimungkinkan, kita bisa ikut serta dari rumah kita atau di mana saja kita berada.
4. Itu bersifat partisipatif. Ubikuitas alat-alat digital ini dan sifatnya yang sosial dan interaktif telah membuat pendidikan dan pembelajaran menjadi interaktif. Seperti yang dikatakan oleh Jim Hazelwood, Uskup ELCA dari New England Synod, yang melakukan percakapan-percakapan Talk and Text dengan orang-orang muda di sinodenya, "Kita tidak lagi hidup di dalam sebuah dunia presentasi; kita hidup di dalam dunia keterlibatan."
Pendidik Douglas Thomas dan John Brown mendeskripsikan hal-hal ini dan peralihan-peralihan lain dalam buku mereka yang bermanfaat, A New Culture of Learning: Cultivating the Imagination for a World of Constant Change (Budaya Belajar Baru: Membudayakan Imajinasi Terhadap Dunia yang Selalu Berubah - Red.) dan mendorong para pembaca untuk "berhenti menganggap pembelajaran sebagai suatu proses terpencil penyerapan informasi dan mulai menganggapnya sebagai suatu proses budaya dan sosial untuk terlibat dengan dunia yang selalu berubah di sekitar kita".
Terinspirasi oleh anak-anak saya, pada tahun ini saya telah bereksperimen dengan sebuah komponen belajar daring untuk melengkapi kelas-kelas konfirmasi tatap muka mingguan kami. Mengikuti setiap kelas, kami mengunggah slide-slide PowerPoint kami, tautan-tautan YouTube, foto-foto, dan berbagai materi pendukung lain ke situs web kami sehingga para orang muda yang melewatkan, atau bahkan mereka yang hadir juga, bisa meninjau ulang materi-materi pelajaran -- sehingga dengan begitu kami juga memiliki sebuah arsip untuk seluruh pekerjaan kami. Kami menggunakan sebuah learning management system (LMS) (sistem manajemen pembelajaran - Red.) berbasis cloud bebas pakai yang disebut Canvas yang dikembangkan oleh Instructure. Layanan-layanan lain seperti Moodle juga menawarkan solusi pembelajaran bebas pakai.
Mencoba mengejar berbagai teknologi ini pada awalnya bisa sangat menyita waktu dan terasa sedikit belum waktunya, setidaknya bagi para jemaat -- tetapi hal-hal ini menjadi sesuatu yang tepat waktu bagi cara para orang muda, dan bahkan orang-orang dewasa, untuk belajar pada masa sekarang ini.
Sebagai seorang Lutheran, hal itu juga, bagi saya, sebuah pemulihan dari salah satu tujuan inti Martin Luther ketika menulis Katekismus Kecilnya. Luther menulis dan merancang Katekismus tersebut untuk digunakan di rumah, tempat para orangtua, yang ia sebut sebagai para uskup rumah tangga, mengajar anak-anak mereka dalam iman. Katekismus Luther bersifat portabel. Ia bersifat visual. Ia bernas dan langsung ke intinya, dan dia (Luther) memanfaatkan teknologi baru pada masanya, mesin cetak, untuk membuat katekismusnya itu dapat diakses secara luas. Sebaliknya, pendekatan kita terhadap pembentukan iman sering kali telah terprofesionalisasi dan terkotak-kotakkan. Barangkali teknologi-teknologi digital yang sedang bermunculan ini menawarkan perbaikan dan pengembalian kepada suatu pembentukan iman menyeluruh yang menjembatani platform-platform digital dan tempat-tempat pertemuan fisik dalam hidup kita.
Berbagai teknologi digital baru menghubungkan, bukan hanya pada cara kita terhubung melalui media sosial, tetapi juga cara kita dalam belajar, dengan cara yang mendalam. Guru-guru sekolah (bahkan pada tingkat sekolah dasar) telah belajar untuk mengintegrasikan teknologi ke dalam ruang kelas mereka dan sekarang memperluas pembelajaran tersebut ke rumah dan peranti seluler kita. Dengan cara yang sama, orang-orang dalam pendidikan Kristen yang berharap membantu membentuk orang-orang dalam iman -- khususnya orang-orang muda kita -- harus mengintegrasikan teknologi dalam kehidupan iman.
Sudahkah Anda bereksperiman dengan pembelajaran daring dalam pengaturan pelayanan Anda? Hal-hal apa saja yang berhasil guna bagi Anda? (t/Odysius)
Diambil dari: | ||
Nama situs | : | Princeton Theological Seminary |
Alamat situs | : | http://iym.ptsem.edu/youth-and-social-media-3/ |
Penulis artikel | : | Keith Anderson |
Tanggal akses | : | 2 Maret 2017 |
- Login to post comments