Klik x untuk menutup hasil pencarian. Cari di situs Remaja Kristen
Menolak dengan Satu Alasan
Jika Anda bertumbuh di gereja, Anda mungkin telah mempelajari kisah berikut ini di Sekolah Minggu sambil membuat karya seni atau menyantap biskuit manis. Cerita ini tercatat dalam kitab Daniel pasal 3, yaitu mengenai tiga orang pemuda bernama Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Jika Anda pernah mendapatkan emblem (lencana) "kehadiran baik" di Sekolah Minggu, mungkin Anda akan berpikir bahwa Anda sangat mengenal cerita ini dan dapat menulis satu bab mengenai itu dengan mata tertutup. Namun, saya akan tertanya dan membantu Anda, melepas cangkang pengetahuan Anda yang sebelumnya dan mulai melihat cerita ini -- mengenai kekudusan, risiko, dan pengaruh -- dari sudut pandang yang baru. (Jika Anda tidak mengenal cerita ini, menurut saya, Anda lebih beruntung karena akan sangat mudah bagi kita untuk menganalisis)
Sedikit tentang latar belakang mereka. Bangsa Yahudi,bangsa yang dipilih Allah telah dikalahkan oleh sebuah kelompok bangsa asing dari utara: orang Babel. Ditawan dan diseret oleh raja yang jahat dan berkuasa, namanya Nebukadnezar, bangsa Yahudi menemukan diri mereka dikelilingi oleh ilah-ilah, budaya, dan bahasa yang baru. Tidak hanya itu, tiga orang Yahudi -- Sadrakh, Mesakh, dan Abednego (teman-teman Daniel) -- dijadikan pemimpin oleh Raja Nebukadnezar yang kejam. Kita tidak tahu dengan pasti, mereka memang cerdas, bertanggung jawab, dan dapat dipercaya. Raja berusaha keras menjadikan mereka orang Babel tulen. Namun, sebagai Yahudi, pengikut Tuhan Yang Esa, mereka menolak mengganti identitas mereka yang unik.
Untuk dari mempertahankan identitas mereka sebagai orang Yahudi, mereka tidak boleh mengikuti ritual-ritual tertentu orang Babel -- menyantap makanan haram, menikahi wanita asing, dan menyembah Allah selain Yahweh. Allah telah memerintahkan bangsa Israel untuk menjadi berbeda dari bangsa-bangsa lain di bumi; yaitu menjadi bagian dari kekudusan. Bercampur merupakan tanda ketidaktaatan bagi Allah.
Jadi, kisahnya berlanjut ketika pada suatu hari Raja Nebukadnezar (yang menurut beberapa orang berperilaku sama seperti Saddam Hussein) mendirikan sebuah patung emas setinggi 90 kaki dengan lebar 9 kaki, yang dipercayai oleh para ahli didirikan untuk menghormati dewa kafir Nebo. Nebo adalah dewa kebijaksanaan dalam agama orang Babel, dan nama Nebukadnezar diambil dari dewa ini. Sebagai penghormatan bagi dewa-dewa kafir tersebut, raja mengharuskan masyarakatnya untuk sujud menyembah.
Pada hari tertentu, ketika musik dimainkan dan setiap kening menyentuh tanah, tiga pria ini tidak melakukannya! Orang-orang membungkuk, tetapi mereka tetap berdiri, merasa lebih tinggi daripada yang orang lain. Dapatkan Anda bayangkan betapa rapuh dan aneh perasaan mereka? Dan ketika perasaan menjadi lebih tinggi dan aneh belum cukup buruk, mereka tahu apa yang akan menimpa mereka. Jika mereka tidak membungkuk, mereka akan dipanggang dalam tungku api. Seluruh penjuru negeri sudah mengetahui konsekuensi besar jika ada yang membangkang perintah raja.
Ketika mengetahui penolakan mereka untuk membungkuk, raja berkata, "Apakah benar, hai Sadrakh, Mesakh dan Abednego, bahwa kamu tidak memuja dewaku dan tidak menyembah patung emas yang kudirikan itu? Sekarang, jika kamu bersedia, demi kamu mendengar bunyi sangkakala, seruling, kecapi, rebab, gambus, serdam dan berbagai-bagai jenis bunyi-bunyian, sujudlah menyembah patung yang kubuat itu! Tetapi jika kamu tidak menyembah, kamu akan dicampakkan seketika itu juga ke dalam perapian yang menyala-nyala. Dan dewa manakah yang dapat melepaskan kamu dari dalam tanganku?" (Daniel 3:14-15). Ketiga pemuda mengakui bahwa mereak tidak mau menyembah sekaligus membenarkan bahwa mereka percaya kepada Allah mereka. Karena beberapa alasan yang tidak diketahui, raja memberi mereka kesempatan kedua.
Sekalipun demikian, sindiran raja jelas dalam tanggapannya yang penuh pengampunan. Seakan-akan dia berkata, "Aku tidak tahu apa kalian tidak melihat bahwa semua orang bersujud, atau ada lilin yang menyumbat telinga kalian sehingga musik yang dimainkan tidak terdengar. Namun, sebaliknya kalian juga bersujud sebelum kalian berasap." Kebanyakan kita, jika diperhadapkan pada situasi semacam ini, mungkin akan memandangi kawan-kawan kita dan berkata kepada raja, "Tunggu dulu. Kami tidak tahu bahwa kalau kami tidak menyembah hal itu akan membuat Anda begitu marah. Apa pun yang Paduka kehendaki, dengan senang hati kami bersujud." Namun, kita tahu bahwa Sadrakh, Mesakh, dan Abednego tidak mengakui kesalahannya, meminta maaf, atau mengakui bahwa mereka mengalami kegilaan sesaat. Di hadapan orang yang sangat berkuasa di Timur Tengah, mereka tidak mengalah. Tentu mereka takut, tetapi mereka lebih terdorong oleh kebenaran yang mereka yakini dibandingkan kematian yang sedang menanti.
Yang hebat dari kisah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego adalah peluang-peluang dalam hidup kita tidak berbeda. Kisah mereka, jika kita sungguh-sungguh memikirkannya, mendorong kita untuk menghadapi pilihan-pilihan di hadapan kita. Dalam ayat 16-17, perkataan mereka lebih menegaskan pilihan mereka untuk menaati Allah ketimbang memenuhi keinginan raja. Kata mereka: "Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada Tuanku dalam hal ini. Jika Allah yang kami puja sanggup melepaskan kami, Dia akan melepaskan kami dari api yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja."
Mereka memahami bahwa kebenaran Allah, yang lebih besar daripada segala konsekuensi yang harus mereka hadapi. Meskipun bersedia untuk terbakar dalam perapian yang bernyala-nyala demi menaati Allah (lihat ayat 18), kita tahu bahwa Allah mengirim malaikat ke dalam api untuk menyelamatkan dan melindungi mereka.
Diambil dari: | ||
Judul asli buku | : | When God Says Jump: Biblical Story that Inspire You to Risk Big |
Judul buku terjemahan | : | Ketika Tuhan Berkata "Lompat"!: Kisah-kisah Inspirasional untuk Berani Mengambil Risiko |
Judul bab | : | Memberontak dengan Alasan Baik: Sadrakh, Mesakh, dan Abednego |
Judul asli artikel | : | Menolak dengan Satu Alasan |
Penulis | : | J.R. Briggs |
Penerjemah | : | Maraike J.B. Bangun |
Penerbit | : | BPK Gunung Mulia, Bandung, 2009 |
Halaman | : | 17 -- 19 |
- Login to post comments