Home » Bahan Pembina » Paradoks Hamba dan Pemimpin
Klik x untuk menutup hasil pencarian. Cari di situs Remaja Kristen
Paradoks Hamba dan Pemimpin
Hamba atau pelayan di dalam dunia kuno adalah jabatan yang sangat rendah statusnya, bahkan lebih tepatnya tanpa status. Hamba dapat dibuang. Hamba tidak memiliki masa depan. Hamba mendahulukan mereka yang ia layani. Hamba juga menekankan kesetiaan tanpa pamrih. Jadi hamba menggambarkan seseorang yang rela patuh, menerima instruksi dari orang lain dan melakukan hal-hal yang remeh. Sebaliknya, istilah pemimpin memunculkan gambaran mengenai seorang yang menentukan arah dan mengendalikan situasi bahkan menata organisasi atau komunitasnya. Gambaran ini jelas sangat bertolak belakang dari istilah hamba. Orang menjadi bingung ketika kedua istilah tadi disatukan dalam istilah kepemimpinan hamba atau pemimpin yang melayani.
Lalu, bagaimana kejelasannya? Menurut Greenleaf, pemimpin hamba menggambarkan seseorang yang secara alamiah ingin melayani. Keinginan, hati dan dorongan untuk melayani orang lain membuatnya bersedia memainkan peran kepemimpinan. Baginya, kepemimpinan adalah fungsi, bukan status atau dambaan. Pemimpin seperti ini kentara sekali perbedaannya dari mereka yang terutama memainkan peran pemimpin karena mereka menikmati penggunaan kekuasaan atau karena mereka ingin mendapatkan pengakuan orang banyak. Seorang pemimpin hamba atau pemimpin yang melayani, pada esensinya, menyadari perannya sebagai seorang hamba yang berfungsi sebagai pemimpin. Jadi, inti dari kepemimpinan hamba adalah hati yang melayani.
Apakah arti melayani? Apakah melayani berarti terus-menerus mengalah dan menghindar dari konflik serta mengabaikan kekuasaan kepemimpinan? Melayani berarti memiliki kerinduan agar orang-orang di sekitarnya menjadi lebih baik dan mengalami hal-hal yang baik. Inilah hal yang paling bermakna bagi sang pemimpin hamba dan menjad kelebihan seorang pemimpin yang Greenleaf tawarkan ke tengah dunia.
Itulah sebabnya banyak orang menyebutkan bahwa konsep kepemimpinan hamba menekankan spiritualitas (pemaknaan) sang pemimpin, lebih dari semua konsep kepemimpinan yang ada sebelumnya. Jadi dalam konsep kepemimpinan hamba, pengaruh kepemimpinan adalah hasil spiritualitas sang pemimpin atau hasil dari dambaan hatinya serta pemaknaan peran hidupnya. Mengaapa Greenleaf mendapatkan kesimpulan serupa ini? Beberapa analis menduga bahwa pergaulan dan minat Greenleaf untuk mendalami agama-agama Timur serta keakrabannya dengan tokoh-tokoh Yudaisme dan Kristen memberi pengaruh yang besar untuk kesimpulan tersebut.
Mau tidak mau, praktik kepemimpinan hamba akan bertentangan dengan ekspektasi sebagian besar orang, terutama di Asia, tentang kepemimpinan. Mereka yang mempraktikkannya sering mengalami pergumulan yang khas, misalnya sebagai berikut:
- Bagaimana mereka menekan keinginan untuk tampil dan rela menjadi orang yang tidak menonjol.
- Bagaimana mereka menyadari hakikat seorang hamba atau pelayan yang sering bertentangan dengan keinginan dasar manusia untuk mengekspresikan diri dan menunjukkan eksistensinya.
- Bagimana mereka memiliki sikap kerja yang istimewa tanpa menggembar-gemorkannya.
- Bagaimana mereka menyikapi orang-orang yang ingin mengambil alih hasil kerja keras dan pencapaian mereka.
- Bagaimana mereka menghadapi permusuhan dalam pekerjaan.
- Bagaimana mereka memiliki sikap hidup yang mencermihnkan seorang hamba, misalnya hidup dengan makanan sederhana, tidak hedonis, tidak borjuis, memperhatikan mereka yang tersisih, dan menggunakan bahasa yang postif namun persuasif.
Diambil dari | : | |
Judul buku | : | Kamu Juga Bisa Melayani! |
Judul bab | : | Kelebihan Pemimpin: Bos yang Jadi Kacung atau Kacung yang Jadi Bos? |
Judul asli artikel | : | Paradoks Hamba dan Pemimpin |
Penulis | : | Robby I. Chandra |
Penerbit | : | Grafika Kreasindo, Jakarta, 2014 |
Halaman | : | 38 -- 40 |
- Login to post comments